Suara Karya

Saatnya Indonesia Bangun PLTN

Oleh: DR Kurtubi

Salah satu alasan mengapa sampai saat ini di Indonesia belum dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) adalah kendala psikologis. Banyak pihak yang meragukan tentang kemampuan dan kedisiplinan bangsa kita dalam membangun dan mengoperasikan PLTN. Padahal, sulit dimungkiri bahwa pembangunan PLTN merupakan salah satu jawaban untuk mengatasi masalah kebutuhan energi listrik yang terus meningkat tajam seiring dengan kemajuan pembangunan di segala bidang, terutama kebutuhan untuk industrialisasi.

Apakah benar bahwa bangsa kita belum mampu menangani PLTN? Untuk menjawab itu, saya mengajukan sejumlah fakta. Sejak hampir 60 tahun lalu, anak-anak bangsa telah terbukti mampu mengoperasikan beberapa PLTN pilot projek kapasitas kecil yg dibangun sejak tahun 1960an di Bandung, Yogyakarta, dan Serpong. Terbukti PLTN-PLTN itu ternyata selamat dan selama ini aman-aman saja. Para ahli-ahli nuklir kita tamatan ITB, UGM, STTN dan Perguruan Tinggi luar negeri saat ini sudah lebih dari cukup, bahkan banyak dari mereka kepakarannya diakui oleh dunia dan bekerja di manca negara.

Sementara itu, teknologi PLTN seperti juga jenis-jenis teknologi yang lain yang dikembangkan manusia di dunia ini merupakan karunia Tuhan terus berkembang, baik dari segi pembiayaan (cost), efisiensi maupun dari aspek keamanannya. Fakta bahwa PLTN yang mengalami musibah, seperti PLTN Chernobyl di Ukraina masih memakai teknologi Generasi I, dan PLTN Fukushima di Jepang menggunakan teknologi Generasi II. Saat ini, perkembangan teknologi PLTN sudah memasuki Generasi IV, yang sangat aman dan efisien.

Data menunjukkan bahwa korban manusia yang meninggal terkait kecelakaan pembangkit listrik di seluruh dunia menunjukkan bahwa PLTN justru yg paling aman dibandingkan dengan pembangkit listrik Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara dan pembangkit lainnya. Indikatornya adalah jumlah korban per kwh listrik yang dihasilkan dari setiap jenis pembangkit, yang menunjukkan PLTN yang paling rendah atau paling aman.

Dari segi jumlah CO2, debu, merkuri, NOx dan pollutan yang dihasilkan, PLTN tidak terbantahkan sebagai jenis pembangkit listrik yang paling bersih, di sisi lain bahwa PLTU yang menggunakan batubara tercatat paling kotor. Listrik yang dihasilkan oleh PLTN sangat stabil, dan stroom yang dihasilkan 24 jam sehari penuh, 365 hari dalam setahun dengan pengisian bahan bakar hanya setiap 1,5 tahun – 2 tahun sekali. PLTN sangat cocok menjadi base load untuk mendukung industrialisasi, karena hampir semua pabrik (industri) beroperasi 24 jam.

Berbeda dengan jenis pembangkit Enegi Baru Terbarukan (EBT) yang lain seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTSurya), PLTBayu. PLTMikroHidro, dan PLTBiomas yang bersifat intermiten karena sifat alamiahnya yang mustahil dapat menghasilkan listrik stabil 24 jam. PLTSurya hanya menghasilkan listrik siang hari saja, PLTBayu hanya menghasilkan stroom jika ada angin bertiup. PLTAir dan PLTMikroHidro stroomnya anjlok di musim kemarau. Pembangkit yang bersifat intermiten ini sangat tergantung pada aki atau baterai yang justru dapat berpotensi sebagai sumber baru perusak lingkungan, jika belum ada teknologi baterai yang dapat menyimpan stroom dalam kapasitas sangat besar. Namun, demikian saya pun setuju EBT yang bersifat intermiten ini terus dibangun dan dikembangkan. Sebab, EBT ini merupakan energi bersih dan bisa diperbaharui, hanya sulit diharapkan untuk secara optimum mendukung proses industrialisasi di Tanah Air.

Padahal, untuk mempercepat agar bisa menjadi negara industri maju maka mau tidak mau kita harus mendukung dan mempercepat semua jenis industri di Tanah Air. Seperti, industri berbasis sumber daya alam, yakni industri berbasis pertambangan (smelter dengan seluruh industri hilirnya), industri berbasis wisata (perhotelan, kuliner, kerajinan tangan), industri berbasis pertanian (pabrik makanan ternak, kuliner), industri berbasis perikanan (cold strorage, pengalengan ikan), industri berbasis peternakan (corned, kuliner dengan pengawetan dan packing menggunakan teknologi nuklir) dan semua jenis industri yang lain harus didukung oleh ketersediaan pasokan listrik yang cukup, bersih dan stabil serta dengan biaya atau harga yang kompetitif.

Selama ini ada semacam kesalahan yang fatal dalam membandingkan biaya (cost) dari setiap jenis pembangkit dengan tidak menginternalkan biaya eksternal yang timbul akibat pencemaran, kerusakan lingkungan, perubahan iklim akibat pemakaian sumber energi fosil dalam pembangkit listrik. Kemudian menyimpulkan bahwa biaya pokok listrik dari PLTU paling murah dibandingkan dengan BPP PLT EBT, termasuk PLTN. Calculating Error yang belum meng-internalized externality costs telah menyebabkan perlakuan diskriminatif terhadap pemanfaatan PLTN di Tanah Air. Externality costs timbul karena adanya, antara lain, polusi, emisi karbon, pencemaran udara karena debu, merkuri, dan NOx yang disebabkan oleh penggunaan energi fosil (batubara dan migas).

Ada konsep costs yang perlu disempurnakan dalam penentuan basis BPP untuk membangun PLT-EBT yang bersih dan ramah lingkungan, termasuk PLTN. Ke depan kita membutuhkan listrik, tidak hanya peduli tentang jumlah kapasitas pembangkit, tetapi juga harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat. Dari sisi costs, PLTN telah mencapai kemajuan yang signifikan dengan costs yang sangat kompetitif bahkan kini telah mencapai biaya yang lebih rendah daripada PLTU Batubara. Setelah Bung Karno dengan visi jauh ke depannya di awal tahun 1960-an telah mencita-citakan agar PLTN dibangun di Indonesia untuk mensejahterakan rakyat, maka kini setelah lebih dari 50 tahun, sudah saatnya PLTN segera dibangun di Tanah Air. GO NUKE !!!.

Penulis adalah Ketua Kaukus Nuklir Parlemen; Wakil Ketua Fraksi Nasdem; Alumnus FEUI, Colorado School of Mines dan Institut Francaise du Petrole.

Related posts