Suara Karya

6 Tahun Kedepan, Industri Tak Butuh Tenaga Kerja Lulusan SMP

JAKARTA (Suara Karya): Koordinator Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Industri, Kementerian Perindustrian Mujiono memproyeksikan, tak ada lagi tenaga kerja lulusan SMP (sekolah menengah pertama) di Industri pada 2025. Kebutuhan itu akan diisi lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK).

“Industri mulai menaikkan standar minimal tenaga kerjanya menjadi lulusan SMK. Terutama pada industri padat karya,” kata Mujiono saat membuka Diklat Asesor Kompetensi Angkatan 2 Tahun 2019, di Jakarta, Senin (8/4/2019).

Hadir pula Komisioner Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Bonardo Aldo Tobing dan Ketua Dewan Pengarah Lembaga Sertifikasi Kompetensi Kimia Industri (LSP-KI), Mas Ayu Elita Hafizah.

Mujiono berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dapat meningkatkan kualitas lulusan SMK. Mengingat saat ini jumlah guru produktif di SMK belum mencapai angka yang ideal.

“Sebagai pendidikan vokasi, guru produktif harusnya 60 persen dari jumlah total guru. Saya baca laporan, jumlahnya baru 20 persen,” ujarnya.

Dampaknya, lanjut Mujiono, industri kemudian beragam pelatihan bagi tenaga kerjanya untuk menyelaraskan kompetensi yang diperoleh dari dunia pendidilan dengan kebutuhan di industri. “Jika pendidikan vokasi kita sudah link and match dengan industri, semuanya jadi efisien karena tak perlu lagi ada beragam pelatihan,” tuturnya.

Mujiono mengungkapkan, kebutuhan tenaga kerja di Indonesia mencapai 600 ribu orang per tahun. Kebutuhan kadang tak terpenuhi karena kendala kompetensi. “Terutama di level SMK. Kebutuhan akan tenaga kerja mencapai 350 ribu orang per tahun,” tuturnya.

Upaya Pusdiklat Industri, lanjut Mujiono, antara lain bagaimana mengkoneksikan pendidikan dan industri. Setiap industri diminta untuk melakukan pembinaan 5 SMK yang ada di wilayah kerjanya.

“Ada 855 industri yang bergabung dalam program ini. Mereka melakukan pembinaan terhadap 2.612 SMK, dengan 4.997 perjanjian kerja sama,” kata Mujiono seraya menambah program itu mencakup 36 bidang keahlian di SMK.

Hal senada dikemukakan Komisioner BNSP, Bonardo Aldo Tobing. Pihaknya sedang mendorong industri agar proses penerimaan tenaga kerja cukup melihat pada sertifikat kompetensi yang dimiliki, tak sekadar ijazah. Apalagi kini ada 800 SMK yang terpilih sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi Pihak Pertama (LSP-P1).

“Sekolah bisa menjadi LSP-P1 merujuk pada Instruksi Presiden (Inpres) No 9 Tahun 2016. Pemilihan SMK-nya diserahkan ke Kemdikbud. Kami hanya menilai kelayakan sekolahnya untuk menjadi LSP-P1,” ujar pria yang akrab dipanggil Aldo itu.

Penunjukan sekolah sebagai LSP-P1, menurut Aldo, dilakukan untuk efisiensi biaya. SMK yang kualitasnya mumpuni menjadi LSP-P1 untuk sejumlah SMK yang ada di sekitarnya. Sertifikat dari LSP-P1 bisa digunakan untuk melamar pekerjaan.

“Hanya sekolah dengan kualitas terbaik yang bisa menjadi LSP-P1. Karena itu jumlah sekolah yang terpilih menjadi LSP-P1 tak banyak,” kata Aldo menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts