JAKARTA (Suara Karya): Asosiasi Inventor Indonesia (AII) didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) kembali menggelar seminar yang mempertemukan inventor dan industri, guna hilirisasi hasil invensi Grand Riset Sawit (GRS) 2015-2021.
Dari 17 invensi yang terpilih dalam GRS 2015-2021, ada 8 invensi menarik perhatian industri untuk ditindaklanjuti. Dari jumlah itu, ada 3-4 invensi masuk ke tahap yang lebih serius.
“Meski serius, kedua belah pihak harus tetap menjaga rahasia. Karena prosesnya masih panjang. Masih perlu validasi teknologi, yang membutuhkan biaya, waktu dan tenaga,” kata Ketua Umum AII, Prof Didiek Hadjar Goenadi di Jakarta, Rabu (20/9/23).
Pernyataan Prof Didiek disampaikan dalam ‘Seminar II: Pengembangan Bisnis dan Industri Berbasis Kelapa Sawit Melalui Pemanfaatan Invensi Hasil Riset BPDPKS GRS 2015-2021.
Seminar tersebut menghadirkan pembicara Direktur Penyaluran Dana BPDPKS, Zaid Burhan Ibrahim; Ketua Umum Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat M Sinaga; Direktur Teknik dan Operasi PT Hakaaston (HKA), Martin Nababan; Dirut PT Panah Perak Megasarana (PPM), Agussalim Igarashi; dan Manager Goverment Relations and Suistainability PT PAN Brothers, Rizal Tanzil Rakhman.
Prof Didiek menyebut, 2 tahapan yang harus dilakukan agar sebuah invensi siap dihilirisasikan. Pertama, upskilling dari skala riset yang dihasilkan inventor. Jika kondisi optimum sudah diperoleh, lalu upskilling lagi ke tingkat komersialisasi bersama industrinya.
“Tahap selanjutnya adalah market trial untuk melihat penerimaan produk di pasaran. Sambil terus mengembangkan marketing komunikasinya agar produk bisa diterima pasar,” tuturnya.
Soal biaya yang dikeluarkan pada proses upskilling dan market trial, menurut Prof Didiek, hal itu bisa dibicarakan apakah ditanggung sepenuhnya oleh industri, atau ditanggung industri 50 persen dan 50 persen pihak ketiga.
“Jika angkanya tidak terlalu besar, AII akan memberi bantuan pendanaan,” katanya.
Ditanya apakah ada investor yang mengundurkan diri setelah market trial, Prof Didiek mengatakan, sementara ini belum ada. Tetapi memang ada sedikit hambatan yang membuat proses komersialisasi berjalan lambat.
“Inventor mengasumsikan bahan baku dari material kelapa sawit mudah didapat, ternyata di lapangan sulit diperoleh jika jumlahnya sangat besar. Nah AII akan menjembatani dengan menghubungi regulator terkait kesediaan bahan bakunya,” katanya.
Begitu pun proses pemanfaatan limbah kelapa sawit, ternyata tidak mudah mendapat limbahnya. Ada regulasi yang melarang limbah keluar dari kebun. Limbah digunakan untuk kebutuhan lain.
“Hal-hal semacam ini diurus oleh AII sebagai jembatan. Bagaimana bahan baku bisa tersedia untuk tahap komersialisasinya,” ucap Prof Didiek menegaskan.
Riset tentang kelapa sawit menjadi penting, karena Indonesia merupakan negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Kelapa sawit masuk 5 produk yang menyumbang 25 persen total GDP Indonesia, selain kopi, karet, gula dan coklat.
“Sayangnya, dunia Barat membuat kampanye kotor tentang kelapa sawit. Padahal sawit ini, selain dibuat untuk minyak goreng juga bermanfaat untuk bahan bakar kendaraan biodiesel,” kata Sahat Sinaga.
Hal senada dikemukakan Direktur Penyaluran Dana, BPDPKS, Zaid Burhan Ibrahim. Pihaknya mendukung pengembangan riset kelapa sawit melalui Program Grand Riset Sawit (GRS). Sejak digulirkan tahun 2015 hingga 2023, ada lebih dari 200 hasil riset siap dihilirisasi.
“GRS 2024 akan kami buka pada Desember 2023 hingga Februari 2024. Jika ada inventor yang tertarik, silakan persiapkan dokumennya dari sekarang,” ujar Zaid seraya menambahkan BPDPKS juga memiliki kompetisi riset sawit untuk mahasiswa.
Zaid Burhan sangat mendukung hasil riset GRS dimanfaatkan industri untuk komersialisasi. Pada 2022, ada 7 judul riset GRS yang sudah kontrak dengan industri untuk proses komersialisasi.
Sebagai informasi, BPDPKS adalah lembaga milik negara dibawah kewenangan Kementerian Keuangan. (Tri Wahyuni)