
JAKARTA (Suara Karya): Aliansi Kebangsaan bersama Forum Rektor Indonesia, Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, FKPPI, HIPMI, dan Harian Kompas menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Menuju Post Parliamentary Politics: Mencari Model Representasi Politik yang Inklusif” secara daring, Jumat (13/10/2023).
Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo dalam paparannya mengungkapkan, di era reformasi sejatinya telah membuat kedudukan partai politik semakin kuat. Lembaga ini merupakan satu-satunya ruang atau kanal yang tersedia bagi rakyat Indonesia untuk menyalurkan hak politik (political right) dan kepentingan politiknya baik dalam hal pengelolaan negara maupun dalam hal memilih kepemimpinan nasional dan daerah.
Selain itu, partai politik juga memiliki tugas untuk melaksanakan fungsi-fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat sebagai prasyarat kehidupan politik yang demokratis.
Namun menguatnya kedudukan dan peran partai politik tersebut tidak diikuti oleh menguatnya demokrasi partisipatoris yang mampu meningkatkan partisipasi rakyat dalam proses politik. Pola relasi partai dengan massa pemilihnya justru semakin berjarak dan hanya tampak selama masa kampanye pemilihan umum.
Menurut Pontjo, pola relasi ini menyebabkan peran partai politik semakin surut sebagai saluran artikulasi dan agregasi kepentingan rakyat, sebaliknya lebih menampakkan dirinya sebagai ekstension dari elite pemimpinnya dan ekstension dari kekuatan-kekuatan oligarki.
“Beberapa kajian terbaru menunjukkan, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, kedudukan dan peran partai politik dan parlemen justru menjadi sarana untuk melanggengkan kekuasaan, untuk mempertahankan dominasi kekuasaan ekonomi politik,” kata Pontjo.
Belum lagi persoalan di dalam tubuh partai itu sendiri, dimana intra party democracy masih menjadi persoalan besar yang dihadapi hampir semua partai politik. Partai masih sangat tergantung kepada ketuanya dalam pola relasi patronase-klientelistik, dengan corak pengambilan keputusan yang didominasi oleh “Sang Ketua”.
Masalah lainnya terkait pendanaan partai (party financing) yang terbatas (kecuali pada partai-partai tertentu). Keterbatasan dana menyebabkan partai politik rawan “diintervensi” kekuatan modal ekonomi-politik dari luar dirinya, yang pada gilirannya mengukuhkan pengaruh oligarki dalam tubuh partai sekaligus dalam kehidupan politik secara luas.
Lebih lanjut Pontjo mengatakan hadirnya sistem multipartai sejak reformasi tahun 1998, pada awalnya menjadi harapan besar bagi perkembangan demokrasi yang lebih baik di Indonesia. Namun setelah 25 tahun reformasi berjalan, eksistensi dan peran partai politik ternyata tidak sebagaimana diharapkan semula.
Sistem multipartai yang bergandengan dengan sistem presidensialisme justru menghasilkan suatu model kompromi politik yang tidak berimbang. Kekuatan mayoritas di parlemen justru kehilangan daya kritisnya dan sebaliknya menjadi pendukung pemerintah sehingga prinsip check and balances kurang berfungsi.
“Fakta-fakta tersebut memperkuat penilaian bahwa sistem politik Indonesia semakin elitis, monolitik, dan oligarkis, dan sebaliknya makin minim partisipasi politik rakyat,” ujarnya.
Diungkapkannya, berbagai kelemahan partai politik sebagai representasi politik dan saluran artikulasi politik rakyat yang berdampak pada memburuknya kualitas demokrasi di Indonesia.
Artinya kata dia, secara langsung atau tidak langsung ikut mendorong munculnya beberapa fenomena politik baru sebagai respons masyarakat atas realitas tadi. Salah satu fenomena tersebut adalah menguatnya peran demokrasi digital (digital democracy) dalam semua aspek kehidupan politik. Masyarakat menggunakan kecanggihan teknologi digital sebagai medium baru artikulasi politik.
“Dengan model demokrasi digital, aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kini tidak lagi disalurkan melalui partai politik dan parlemen, melainkan melalui media sosial yang terbukti cukup efektif,” ujarnya.
Hadir dalam FGD tersebut Pakar Aliansi Kebangsaan, Manuel Kaisiepo S.IP., MH sebagai moderator. Narasumber Direktur Kebijakan Politik, Hukum, Pertahanan, dan Keamanan BRIN, Moch. Nurhasim M.Si, Sosiolog UGM M Najib Azca PhD, dan Peneliti BRIN Irine Hiraswari Gayatri, PhD. (Boy)