Suara Karya

Anggota IPPAT Gugat Hasil Kongres VII di Makassar

JAKARTA (Suara Karya): Sejumlah Anggota Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) melayangkan surat gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Pihak Tergugat adalah Ketua Umum dan Sekretaris PP IPPAT Periode 2015-2018, panitia pelaksana kongres, serta jajaran Presidium Kongres VII IPPAT yang diselenggarakan di Makasar tanggal 27-28 Juli 2018.

Koordinator Forum Kajian Hukum dan Demokrasi Nungki Kartikasari mengatakan, gugatan PMH tersebut merupakan puncak dari keberatan Anggota IPPAT atas hasil Kongres VII IPPAT yang diduga sarat kecurangan, manipulasi, intimidasi serta bertentangan dengan AD/ART organisasi.

Dikatakan Nungki, sebelum Anggota IPPAT melayangkan gugatan PMH ke PN Jakarta Barat, mereka berupaya menyelesaikan kisruh pasca Kongres VII di Makasar secara kekeluargaan. Termasuk meminta penyelesaian sengketa tersebut kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan kepada Dirjen AHU Kementerian Hukum dan HAM pada Agustus lalu.

Meski demikian nampaknya para tergugat dan turut tergugat cenderung tidak merespon dan abai. Gugatan PMH tersebut dirasa sesuai bagi Anggota IPPAT untuk mendapatkan keadilan dan kepastian hukum, lantaran hingga saat ini di dalam AD/ART IPPAT belum mengatur mekanisme penyelesaian masalah yang timbul karena Kongres. Sehingga dalam hal ini Pengadilan Negeri menjadi satu-satunya wadah yang berwenang dalam perkara sengekta pasca Kongres VII IPPAT.

“Wajar jika anggota IPPAT menggugat soal kisruh pasca kongres ke pengadilan, karena kepastian hukum dan keadilan bagi anggota organisasi harus ditegakan, terlebih IPPAT merupakan organisasi pejabat pembuat akta tanah yang memiliki irisan langsung dengan kepentingan publik,” kata Nungki di Jakarta, Minggu (18/11/2018).

Kejanggalan Pelaksanaan Kongres VII IPPAT
Alasan keberatan atas hasil Kongres VII IPPAT di Makasar antara lain bahwa pada pelaksanaan pemilihan Ketua Umum, kongres diwarnai kejanggalan tentang jumlah total suara pemilih. Terdapat kelebihan surat suara di dalam kotak suara yang dihitung dengan jumlah total pemilik hak suara dalam kongres.

Selisih suara sebesar 320 dari daftar pemilih tetap pada saat pembukaan kongres untuk penghitungan quorum rapat berjumlah 3.787 suara, dimana formatur calon ketua umum 4212 suara, calon MKP (Majelis Kehormatan Pusat) 3892 suara. Artinya ada perbedaan jumlah suara pada saat memilih caketum dengan MKP yaitu sejumlah 425 suara tidak sah.

Permasalahan krusial lain misalnya terdapat anggota luar biasa yang seharusnya tidak mempunyai hak suara namun memberikan hak suara sama seperti anggota biasa. Kemudian persoalan kartu tanda peserta kongres yang sama dengan anggota biasa, ada peserta atau pemilih ganda, serta proses pencoblosan suara yang melelahkan sehingga membuat suasana kongres tidak kondusif.

Hal ini menyebabkan salah satu pintu kaca di Ballroom Hotel Pour Point Makassar jebol akibat aksi saling mendorong antar peserta, bahkan beberapa peserta terjatuh akibat kekurangan oksigen.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut harusnya bisa diselesaikan pada saat itu juga dengan melakukan pemungutan suara ulang. Sayangnya Presidium Kongres memilih untuk langsung menetapkan hasil pemungutan suara yang sarat kejanggalan tanpa menindaklanjuti keberatan dari calon Ketua Umum yang lain.

Dalam hal ini lanjut Nungki, anggota IPPAT merasa hak memilih dan dipilih sebagai asas demokrasi telah dicederai.
Sebelumnya, sejumlah organisasi profesi hukum maupun beberapa partai politik nampaknya bernasib sama: terlibat perseteruan internal. Di kalangan Advokat, ada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang kini memiliki tiga ketua umum, atau dualisme organisasi di Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan bagi para Kurator serta Arbiter. (Pramuji)

Related posts