
JAKARTA (Suara Karya): Kalangan petani tembakau memberi apresiasi atas diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) nomor 156 Tahun 2018 tentang tembakau. Regulasi itu merupakan pengganti Permenkeu nomor 146 Tahun 2017.
“Kebijakan itu jelas sekali menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap petani. Kami sangat mengapresiasi regulasi baru itu,” kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau (APTI), Agus Parmudji, di Jakarta, Selasa (22/1/2019).
Merujuk kajian APTI, penerapan Permenkeu nomor 146 Tahun 2017 terkait simplifikasi tarif cukai tembakau memang perlu mempertimbangkan dampaknya secara keseluruhan. Baik terhadap petani tembakau maupun industri kretek nasional.
“Pasalnya, implementasi dari simplifikasi tarif cukai berdampak langsung terhadap petani tembakau, serta penurunan penerimaan negara dari cukai rokok,” ujarnya.
Menurut Agus, Permenkeu 146/2017 itu mengatur penggabungan golongan Sigaret Putih Mesin (SPM) dengan Sigaret Kretek Mesin (SKM), termasuk panggabungan kuota. Jika kebijakan itu diberlakukan akan merugikan petani sebagai penjual tembakau dan pada umumnya produk kretek sebagai produk nasional.
“Simplifikasi tarif cukai akan mematikan industri kretek nasional yang merupakan penyerap tembakau petani lokal bahkan nasional,” ujarnya.
Agus juga meminta agar Kemenkeu segera melakuan koordinasi dengan Kementerian Pertanian (Kemtan), mengingat para petani tembakau berada di bawah Kemtan. Terlebih, masalah importasi tembakau hingga kini belum mendapat kejelasan dari pemerintah.
“Pembatasan impor wajib dilakukan. Hal itu berarti pemerintah secara tulus membantu kehidupan para petani tembakau di Indonesia,” ucapnya.
Klausul lain, lanjut Agus, terkait penyederhanaan tarif menjadi 5 layer yang akan mengakibatkan semua pabrikan nasional mulai dari kategori besar hingga menengah dan kecil berpotensi gulung tikar. Sebab, mereka tak lagi sanggup bersaing dengan pabrikan besar.
Ditambahkan, penggabungan tarif cukai Sigaret Kretek Tangan (SKT) Golongan 1A dan 1B juga akan memberangus SKT produk pabrikan yang masih barnafas Merah Putih. “Kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) yang terlalu tinggi akan mempercepat kematian pabrikan menengah dan kecil. Karena konsumen sangat sensitif terhadap kenaikan harga,” tuturnya.
Agus mengingatkan, jika pengaturan simplifikasi tarif cukai dilakukan, maka kebijakan tersebut akan berdampak pada matinya industri kretek nasional menengah ke bawah.
“Selama ini industri menengah ke bawah berkontribusi terhadap perekonomian petani, sebagai penyerap tembakau kelas tiga. Hal itu mengingat semua tembakau yang kurang bagus tidak terserap oleh industri besar,” katanya.
Implikasi lain adalah semakin berjayanya produsen besar. Pasalnya, pengenaan cukai akan satu kategori. “Prediksi ke depan, aturan ini bakal memberangus tembakau lokal. Selain juga mematikan penghidupan petani tembakau,” ucapnya.
Untuk itu, pemerintah dapat berperan untuk melakukan pembinaan kepada petani tembakau agar hasil panen meningkat, baik dari sisi produktivitas maupun kualitas. Dengan demikian nasib petani akan lebih terjamin.
Dalam konteks itu, APTI mengapresiasi Kementerian Keuangan selaku regulator yang “menghapus” proses simplifikasi tarif cukai (penyederhanaan tarif cukai). Karena jika diterapkan, bakal berdampak pada bencana ekonomi massal bagi masyarakat pertembakauan. (Tri Wahyuni)