Bappenas: Pentingnya Reformasi Perlinsos bagi Penyandang Disabilitas

0

JAKARTA (Suara Karya): Pandemi corona virus disease (covid-19) yang berlangsung selama 1,5 tahun ini, berdampak parah pada penyandang disabilitas, akibat rendahnya tingkat pendidikan, keterbatasan akses tenaga kerja, rendahnya pendapatan dan tingginya biaya hidup.

Untuk itu, dibutuhkan reformasi program perlindungan sosial (perlinsos) yang cepat dan tepat bagi kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Karena hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020 memperkirakan ada 6,2 juta orang atau 2,3 persen dari total populasi berstatus disabilitas sedang dan berat.

Hal itu mengemuka dalam webinar bertajuk ‘Diseminasi Hasil Studi: Dampak Covid-19 terhadap Penyandang Disabilitas di Indonesia’ yang digelar secara daring, Kamis (12/8/21).

Studi tersebut merupakan inisiasi dari Kementerian PPN/Bappenas yang didukung organisasi KOMPAK (Kolaborasi Masyarakat dan Pelayanan untuk Kesejahteraan), MAHKOTA (Menuju Masyarakat Indonesia yang Kuat dan Sejahtera) dan Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas Indonesia. Mereka baru saja merampungkan studi inklusif terkait covid-19 yang menyasar penyandang disabilitas.

Direktur Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian PPN/Bappenas, Maliki dalam sambutan saat membuka webinar mengatakan, penyandang disabilitas mendapat perhatian karena Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2018 menyebutkan mereka adalah subjek pembangunan.

Karena itu, lanjut Maliki, keberhasilan pembangunan bukan hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga pembangunan yang dapat dirasakan oleh penyandang disabilitas.

“Hasil studi merekomendasikan perlunya kebijakan yang berpihak pada penyandang disabilitas, yaitu tak sekadar memberi bantuan sosial tetapi juga meningkatkan akses ekonomi produktif,” ujarnya.

Kerentanan itu juga dipengaruhi oleh gender, di mana perempuan dengan disabilitas menghadapi hambatan yang lebih besar dibanding laki-laki penyandang disabilitas.

Karena itu, pemangku kebijakan harus mengembangkan intervensi yang sesuai dengan potensi dan hambatan penyandang disabilitas. Bukan hanya respons di masa krisis seperti pandemi covid-19, tetapi juga sebagai strategi jangka panjang untuk pemulihan pascapandemi di sektor perlindungan sosial, penghidupan, kesehatan dan pendidikan.

Ditambahkan, studi kuantitatif tersebut dilakukan pada April 2020, melibatkan 1.683 responden dari seluruh Indonesia. Selanjutnya studi kualitatif pada Juli-Agustus 2020 yang mencakup 78 informan di 7 wilayah yang mewakili Indonesia Timur, Tengah dan Barat, serta wilayah perkotaan dan pedesaan.

“Selain mampu melindungi masyarakat rentan di masa krisis, perluasan program perlindungan sosial di masa pandemi Covid-19 diharapkan mampu menstimulus perekonomian, sehingga efektif dalam mencegah kondisi krisis yang jauh lebih buruk,” ucapnya.

Survei yang dilakukan Jaringan Organisasi Penyandang Disabilitas untuk respons inklusif Covid-19 di Indonesia di awal pandemi, yakni di April 2020, melaporkan proporsi yang signifikan, yakni penurunan pendapatan bagi 86 persen penyandang disabilitas, yang secara umum bekerja di sektor informal. Penurunan pendapatan terjadi karena pemberlakuan aturan untuk menjaga jarak fisik dan pembatasan aktivitas sosial.

“Pandemi membawa dampak paling besar terhadap penyandang disabilitas, karena mereka kebanyakan bekerja dengan cara interaksi langsung dengan orang lain, seperti terapis pijat, penata rambut, dan lain-lain,” tuturnya.

Ditambahkan, sekitar 40 persen responden mengaku sudah menerima setidaknya satu program bantuan sosial dari pemerintah, di mana hanya empat persen dari mereka yang menerima bantuan tunai.

Perempuan juga lebih banyak menanggung tekanan finansial, fisik dan psikologis, terutama bila memiliki anak penyandang disabilitas. Beratnya dampak pandemi covid-19 juga dialami siswa penyandang disabilitas yang sejak sebelum pandemi menghadapi keterbatasan akses pendidikan.

Peralihan metodologi pengajaran dari tatap muka menjadi daring selama pandemi, tidak selalu berhasil untuk siswa penyandang disabilitas.

Temuan lain dari studi kualitatif adalah cakupan program perlinsos, termasuk Bantuan Langsung Tunai yang didanai Dana Desa, mengalami peningkatan yang signifikan, jika dibandingkan pada awal pandemi. Kombinasi program di tingkat nasional dan daerah yang diluncurkan berdasarkan kewenangan wilayah itu, kelompok rentan biasanya luput dari skema bantuan nasional tersebut.

Studi juga menyoroti pentingnya mekanisme pendataan penyandang disabilitas. Studi ini memberi rekomendasi pada 4 area utama yaitu akses perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas, akses layanan kesehatan dan rehabilitasi bagi semua penyandang disabilitas, termasuk program rehabilitasi berbasis masyarakat guna mengurangi ketergantungan pada layanan berbasis institusi.

Selain itu, akses terhadap pendidikan inklusif bagi penyandang disabilitas dari segi infrastruktur dan kapasitas SDM guru. Serta akses bagi penyandang disabilitas ke pasar tenaga kerja dalam jangka panjang. Pemangku kepentingan perlu memastikan penyandang disabilitas mesuk dalam program ketenagakerjaan dalam Program Pemulihan Ekonomi Nasional.

Rekomendasi itu diharapkan dapat memperkuat strategi implementasi Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas. Serta menjadi pertimbangan pemerintah daerah dalam menyusun Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas.

Ditambahkan, Bappenas sudah menyelesaikan rencana aksi nasional yang menargetkan berbagai momentum penting dalam 5 tahun ke depan, termasuk perluasan cakupan adminduk, pendataan yang komprehensif, perluasan akses atas layanan dengan Standar Pelayanan Minimal atau SPM, serta pemahaman holistik dalam pembangunan inklusif.

“Seharusnya tahun ini, seluruh penduduk Indonesia bisa makin bahu membahu untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang disabilitas,” kata Maliki menandaskan. (Tri Wahyuni)