
JAKARTA (Suara Karya): Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di sektor pendidikan, diakui tak secepat sektor lain seperti keuangan, perbankan dan e-commerce. Hal itu terjadi lantaran kompetensi TIK pada guru terbilang masih rendah.
“Hingga kini baru 40 persen guru yang benar-benar memanfaatkan TIK untuk pembelajaran,” kata Pelaksana tugas (Plt) Kepala Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin), Kemdikbud, Gogot Suharwoto saat membuka pameran pendidikan ‘Edutech Expo 2020’, di Balai Sidang Senayan, Jakarta, Kamis (6/2/20).
Padahal, lanjut Gogot, semua sektor di Indonesia saat ini berlomba-lomba mengadopsi TIK sebagai tanda dari kemajuan Revolusi Industri 4.0. Hal itu bisa dilihat dari munculnya istilah cloud, internet of things, big data, lock chance, artificial intelligence dan dan lainnya.
“Namun sayangnya, penerapan di sektor pendidikan tak secepat sektor lainnya, seperti kesehatan, pertahanan, pertanian, perdagangan, perbankan dan ekonomi,” ujarnya.
Gogot menyebut 4 program besar yang akan dilakukan Kemdikbud untuk mengejar ketertinggalan teknologi di sektor pendidikan. Pertama, penyediaan infrastruktur teknologi di sekolah berupa perangkat yang digunakan untuk akses terhadap internet. Bantuan itu termasuk sekolah yang ada di wilayah 3T (terluar, tertinggal dan terpencil).
Program kedua, lanjut Gogot, pelatihan untuk guru dengan menggunakan TIK. Pelatihan semacam itu tak hanya hemat waktu, tetapi juga tenaga dan uang. “Sekarang bukan eranya lagi pelatihan tatap muka. Karena makin banyak guru dan dosen pengguna teknologi yang tidak suka pembelajaran berbasis blended,” ujarnya.
Ditambahkan, program selanjutnya adalah kurikulum pada mata pelajaran informatika untuk tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). Perubahan nama itu, karena istilah informatika mencakup teknologi, komputer, jaringan, aplikasi bahkan dampak sosial IT terhadap masyarakat.
“Selama ini kita tak pernah mengajari anak menghadapi teknologi yang bertubi-tubi seperti ini. Karena itu, tak heran jika muncul berita hoaks di media sosial. Upaya preventif dalam mengatasi dampak sosial IT negatif yang paling tepat adalah lewat pendidikan,” ujarnya.
Program keempat adalah pembuatan aplikasi yang mendorong terjadinya peningkatan kualitas pendidikan berbasis online, mulai dari penerimaan peserta didik baru (PPDB), ujian nasional berbasis komputer (UNBK) hingga penyediaan materi pembelajaran melalui aplikasi Rumah Belajar.
“Kita tinggal mendorong guru dan siswanya untuk belajar dengan teknologi, karena akses sudah dibantu. Peran pemerintah kabupaten/kota juga penting agar akses yang ada bisa diperluas hingga menjangkau seluruh sekolah di wilayah itu. Tak berhenti di sekolah yang memiliki fasilitas memadai,” ucap Gogot. (Tri Wahyuni)