Berkat ARV, Kasus Penularan HIV Dari Ibu ke Anak Bisa Dicegah 98 Persen

0

JAKARTA (Suara Karya): Para ibu hamil dengan HIV diingatkan untuk rutin mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV), karena obat tersebut efektif dalam mencegah penularan virus dari ibu ke anak. Kasus penularan tersebut bisa dicegah hingga 98 persen.

“Dari banyak kasus yang saya tangani, obat ARV tidak menimbulkan keguguran pada janin atau kemandulan. Jadi jangan ragu konsumsi ARV,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmidzi dalam webenar memperingati Hari AIDS Sedunia, secara daring, Senin (29/11/21).

Pembicara lain dalam acara tersebut, anggota Perhimpunan Dokter Peduli HIV/AIDS, Haridana Mahdi.

Sekadar informasi, HIV merupakan suatu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS adalah kondisi kesehatan penyandang HIV semakin berat hingga mencapai kondisi kehilangan imu tubuh atau Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS).

Nadia menambahkan, pemerintah telah melakukan tes skrining HIV kepada sekitar 2,3 juta ibu hamil. Dari jumlah itu, ada sekitar 6.094 yang terdeteksi HIV. Penularan virus tersebut kebanyakan berasal dari suaminya.

“Skrining pada ibu hamil menjadi penting untuk mencegah penularan virus dari ibu ke anak. Sehingga tak ada lagi anak-anak yang lahir dengan HIV. Prevalensi anak dengan HIV mencapai 0,25 persen dari populasi anak yang dilahirkan dari ibu dengan HIV,” tuturnya.

Ditanya soal layanan kesehatan bagi anak dengan HIV, Nadie mengatakan, layanan tersebut baru tersedia di rumah sakit. Tercatat ada 1.705 rumah sakit, baik milik pemerintah atau swasta yang memiliki layanan bagi anak dengan HIV.

“Layanan itu hingga saat belum tersedia di Puskesmas. Karena layanan memerlukan dokter spesialis anak, sehingga baru tersedia di rumah sakit,” ujarnya.

Nadia memaparkan, persentase anak dibawah usia 19 tahun yang tertular HIV ada sekitar 0,7 persen dibawah usia 4 tahun. Mereka tertular dari hubungan ibu ke anak. Pada usia 5-14 tahun ada sekitar 1,3 persen. Sedangkan usia 14-19 tahun sebanyak 7,2 persen.

“Seluruh pasien anak ini sudah mendapat layanan yang sesuai di rumah sakit,” katanya.

Nadia memperkirakan ada 543.100 orang di Indonesia hidup dengan HIV. Dari jumlah itu, 30.100 orang diantaranya meninggal, tetapi hanya 10.103 kasus kematiannya yang dilaporkan. Ada 149.883 orang yang tersebar di 502 kabupaten/kota telah dapat mengakses pengobatan ARV.

“Upaya kita memutuskan rantai penularan HIV harus lebih dipercepat. Kita harus belajar dari Thailand yang secara cepat bisa menurunkan insiden HIV-nya,” ucapnya.

Pemerintah Indonesia sendiri, lanjut Nadia, menargetkan tidak ada lagi infeksi baru HIV, tidak ada kematian akibat AIDS, dan tidak ada diskriminasi pada ODHA. Kondisi itu dapat dicapai jika 95 persen ODHA mengetahui status HIV-nya, 95 persen ODHA dalam pengobatan ARV, dan 95 persen ODHA viral load-nya tersupresi.

Dan yang menggembirakan, infeksi baru HIV tahun 2020 lebih rendah 47 persen dibandingkan dengan 2010. Nadia berharap, dampak pandemi covid-19 tidak meluas, sehingga dapat menekan kesakitan ataupun infeksi baru HIV, bahkan kematian akibat HIV.

“Kita harus memperkuat penanganan HIV di masa pandemi ini. Karena covid-19 akan memanfaatkan kondisi tubuh dari penyandang HIV/AIDS yang lemah, sehingga terjadi perburukkan,” ujarnyam

Nadia meminta masyarakat meningkatkan kewaspadaan. Karena saat tertular virus HIV seringkali tidak langsung dapat dideteksi.

“Meski virus sudah menginfeksi, tetapi ada yang namanya ‘window periode’. Pemeriksaan laboratorium bisa saja negatif hingga 3 minggu sampai 3 bulan kedepan,” katanya.

Penderita HIV akan tampak sebagai orang yang sehat. Jadi, belum muncul penyakitnya sampai kekebalan tubuh penderita benar-benar melemah. “Prosesnya berlangsung 5-10 tahun. Jika tidak minum ARV, maka daya tahan tubuhnya akan menurun hingga sampai pada kondisi AIDS,” ujarnya.

Dijelaskan, HIV ditularkan melalui hubungan seks berisiko, baik pada hubungan heteroseksual maupun homoseksual. Kemudian melalui darah, yaitu pada alat suntik yang tercemar dan transfusi darah yang tidak tersaring penyakit HIV, dan dari ibu ke bayi pada saat kehamilan, melahirkan dan menyusui.

“Tetapi, semua itu bisa dicegah dengan tidak melakukan hubungan seks yang berisiko, setia pada satu pasangan, menggunakan alat pelindung seperti misalnya kondom, menggunakan alat suntik sekali pakai,” tuturnya.

Kemudian, melakukan pemeriksaan laboratorium untuk menyaring transfusi darah supaya bebas dari penyakit HIV dan penyakit infeksi menular, serta mendeteksi ibu sebelum kehamilannya, apakah menderita HIV.

“Kita memiliki program itu yang kita sebut sebagai triple eliminasi yaitu penawaran tes pada ibu hamil untuk kondisi-kondisi atau mencegah penyakit HIV, sifilis, dan juga hepatitis,” papar Nadia.

Ditanya kasus penularan HIV terbanyak karena jarum suntik pada penderita narkoba, Nadia menyebut, penularan terbanyak saat ini karena hubungan seks pada kelompok lelaki suka lelaki. Jumlahnya mencapai 27 ribu hingga 30 ribu orang.

“Tak seperti penderita narkoba, kelompok lelaki suka lelaki ini tidak terbuka pada publik. Sehingga penelusurannya masih terbilang sulit,” kata Nadia menandaskan. (Tri Wahyuni)