
JAKARTA (Suara Karya): Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Diksi) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) tengah membidik ceruk dalam industri kreatif.
“Ada dua strategi dipersiapkan lewat peningkatan kualitas pendidikan vokasi, yaitu kebijakan Merdeka Belajar dan kurikulum berbasis sistem ganda atau dual system,” kata Dirjen Diksi, Kiki Yuliati saat berbicara dalam forum Merdeka Innovation Summit 2023, di Jakarta, Jumat (17/11/23).
Di bawah payung kebijakan Merdeka Belajar, satuan-satuan pendidikan vokasi mulai dari sekolah menengah kejuruan (SMK), perguruan tinggi vokasi seperti Politeknik hingga lembaga kursus dan pelatihan (LKP) terus beradaptasi dalam berbagai bidang keilmuan di industri kreatif, seperti konten game, komik, film, musik, dan lainnya.
“Ribuan hingga jutaan talenta vokasi bidang industri kreatif diberi kesempatan untuk lebih mengeksplorasi industri kreatif melalui pendidikan vokasi sistem ganda yang terus ditekankan di satuan-satuan pendidikan vokasi,” tuturnya.
Upaya itu, menurut Kiki Yuliati, sesuai arahan Presiden Joko Widodo. Karena itu, Kemdikbudristek akan mendorong industri kreatif di berbagai bidang untuk melahirkan talenta-talenta di bidang tersebut.
“Setidaknya ada 3 jalur pendidikan vokasi yang disiapkan lewat jalur pendidikan menengah, pendidikan tinggi, serta kursus dan pelatihan,” ucap Kiki.
Disebutkan, ada lebih dari 3.329 dari 14.478 SMK di Indonesia yang menangani bidang industri kreatif. Hampir 339.279 siswa SMK saat ini sedang belajar di bidang yang terkait dengan industri kreatif seperti boga, multimedia, dan sebagainya.
Selain itu, ada sekitar 13.432 LKP yang bergerak untuk mendukung industri kreatif serta sekitar 21 ribu mahasiswa yang saat ini belajar untuk mendukung sektor industri kreatif di berbagai bidang.
“Kemdikbudristek dituntut untuk melahirkan lebih dari 10 juta talenta digital sampai 2024. Talenta digital itu nantinya untuk mendukung industri kreatif, termasuk memperkuat industri game dan cyber security.
Mengingat industri kreatif yang begitu dinamis, Ditjen Diksi telah mempersiapkan sejumlah strategi untuk memperkuat pendidikan vokasi agar tetap kontekstual dan relevan dengan perkembangan industri kreatif yang begitu dinamis.
“Di bawah Merdeka Belajar, kita akan mulai menyesuaikan kurikulum. Berkolaborasi dengan industri, kita buat PBL (project based learning), teaching factory. Kita selenggarakan pembelajaran yang kontekstual dengan PBL bersama industri,” tuturnya.
Menurut Kiki, skema teaching factory saat ini tengah diterapkan di SMK ataupun politeknik di Indonesia. Skema itu mewajibkan satuan pendidikan memiliki fasilitas laboratorium sekelas rumah produksi yang digunakan untuk menyelesaikan proyek seperti animasi bersama industri.
“Kita juga mengundang praktisi untuk mengajar serta mendorong peningkatan kesempatan bagi mahasiswa vokasi untuk mendapat sertifikat kompetensi,” katanya.
Ditambahkan, transformasi kurikulum juga dilakukan dengan mengadopsi kurikulum vokasi sistem ganda. Kurikulum itu memberi porsi yang berimbang antara pendidikan di kelas dengan praktik langsung di industri.
Diharapkan lulusan bisa tetap relevan dengan kebutuhan industri, terutama di industri kreatif.
“Jika ikut program D-4, maka 2 tahunnya akan bergabung di industri. Sehingga peserta didik bisa merasakan budaya kerja di industri, yang tidak akan sama jika peserta didik hanya belajar di kampus,” ujar Kiki.
Dari sisi pengajar, Ditjen Diksi juga memiliki unit pelaksana teknis (UPT) atau balai-balai vokasi untuk melakukan upskilling dan reskilling bagi para guru, instruktur, maupun dosen vokasi.
“Khusus untuk dosen, kami mendorong untuk pelatihan maupun sertifikasi di industri maupun di kampus di luar negeri,” katanya.
Dlam forum yang sama, Director of Business Development YG Entertainment & Executive Director, Encast Co. Ltd, Charlie Cho mengatakan, sebagaimana Korea Selatan, Indonesia juga memiliki kekuatan ekonomi kreatif yang cukup besar.
Untuk itu, lanjut Charlie Cho, dibutuhkan kerja keras dan kemauan yang kuat serta kolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan untuk mengembangkan potensi besar tersebut. Hal itu yang dilakukan Korea Selatan untuk membangun industri kreatif di negaranya.
Menurut Charlie, keberhasilan itu tidak dilakukan dalam waktu singkat dan membutuhkan kolaborasi dan banyak faktor pendukung. Negeri ginseng itu telah gencar mendorong kemajuan industri kreatif sejak lebih dari 20 tahun lalu. (Tri Wahyuni)