Brigadir Polisi M Saleh Raih Frans Seda Award 2018

0

JAKARTA (Suara Karya): Brigadir Polisi Muhammad Saleh dari Desa Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra) meraih penghargaan Frans Seda Award (FSA) 2018.  Usaha Saleh dalam membuat sekolah untuk anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya dinilai layak menang untuk bidang pendidikan.

Penghargaan FSA 2018 untuk bidang kemanusia diberikan kepada Edy Syahputra dari Langkat, Sumatera Utara. Ia berhasil mengembangkan sanggar belajar untuk remaja dalam seni tari dan musik, pengembangan diri dan kewirausahaan.

“Kedua individu ini memiliki semangat yang sama dengan Frans Seda, pendiri Universitas Katolik Atma Jaya. Semoga mereka bisa menjadi inspirasi bagi setiap orang untuk berlaku serupa,” kata Rektor Unika Atma Jaya, A Prasetyantoko disela acara penganugerahan FSA 2018 di Jakarta, Jumat (26/10/2018).

Acara dihadiri Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang memberi kuliah umum tentang kebijakan fiskal yang sehat dan adil.

Rektor menambahkan, FSA kali ini memasuki tahun ke-4. Penghargaan diberikan kepada individu yang belum terkenal, tetapi memiliki prestasi yang gemilang. “Kami memang mencari orang-orang yang berkontribusi aktif bagi bangsa, tapi masih sepi publisitas. Karena itu penerimanya bukan orang-orang terkenal,” ujarnya.

Ketua Pelaksana FSA 2018, Dhevy Setya Wibawa menjelaskan proses pencarian penerima FSA melalui pemberitaan di media maupun usulan dari masyarakat yang disampaikan melalui media sosial.

“Lewat pencarian ini, kami dapat 10 nama. Lalu juri melakukan visitasi ke 10 nominator, dan memutuskan Muhammad Soleh dari Bombana Sultra dan Edi Syahputra dari Langkat Sumut sebagai pemenangnya,” tuturnya.

Dhevy menegaskan, penghargaan bersifat inklusifitas. Artinya, penilaian dilakukan tanpa melihat latar belakang agamanya, melainkan semata untuk bangsa dan negara. Selain penghargaan, kedua pemenang mendapat hadiah uang tunai sebesar Rp50 juta per orang.

Pada kesempatan yang sama Brigadir Polisi M Soleh yang sehari-hari bekerja sebagai Babinsa Kamtibnas di Bombana, Sultra menuturkan, pendirian sekolah itu dilandasi rasa iba melihat anak-anak di sekitar rumahnya harus berjalan kaki ke sekolah sekitar 5-8 km setiap harinya.

“Kebetulan istri seorang guru, setelah berembuk dengan warga akhirnya disepakati membuat sekolah dengan 3 ruang kelas. Awalnya kami berdua yang mengajar, ketika anak-anak makin banyak kami memperkerjakan 3 guru. Gaji mereka kami tanggung sendiri,” katanya.

Kendati harus mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri, Muhammad Saleh mengaku senang karena anak tidak lagi kelelahan saat tiba di sekolah. Waktu perjalanan yang lebih singkat, bisa dipergunakan untuk belajar lebih lama.

Sementara itu Edi Syahputra awalnya tak menyangka sanggar seni tari dan musik yang didirikan mendapat apresiasi dari remaja setempat. Ketika mulai ada undangan menari dari berbagai tempat, remaja yang ingin belajar menari dan musik makin banyak.

“Lalu terpikir untuk buka kelas inspirasi, diluar kelas tari dan musik. Diharapkan tumbuh generasi yang kreatif, inovatif dan sinergi. Kelas selanjutnya adalah kewirausahaan. Jumlah remaja yang bergabung hingga ratusan orang,” ujarnya.

Biaya pelaksana kegiatan, lanjut Edi, ditanggung dari bisnis cetakannya. Bisnis cetakannyabsemakin berkembang seiring dengan makin dikenalnya Sanggar Pratama di daerahnya. “Sanggar maupun bisnis ini kami kelola bersama teman semasa kuliah,” kata lulusan Politeknik Poliprofesi Medan itu menandaskan. (Tri Wahyuni)