Capai Lebih 13 Ribu Kasus, Pemerintah Tetapkan Waspada DBD

0

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah akhirnya menetapkan status “Waspada DBD” seiring dengan makin meningkatkan jumlah penderita DBD (Demam Berdarah Dengue) di Tanah Air. Hingga 29 Januari, tercatat ada 13.683 penderita DBD di 34 provinsi, dengan 132 kasus diantaranya meninggal dunia.

“Status saat ini belum dapat disebut KLB (Kejadian Luar Biasa), karena jumlah kasusnya masih dibawah rata-rata tahun lalu,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi dalam penjelasannya di Jakarta, Rabu (30/1/2019).

Nadia dalam kesempatan itu didampingi ahli dari Divisi Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI-RSCM), Mulya Rahma Karyanti dan Kasie Penyakit Menular, Tular Vektor dan Zoonotik, Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Inda Mutiara.

Kendati demikian, Nadia menambahkan, ada 8 kabupaten/kota yang melaporkan KLB di wilayahnya. Dari jumlah itu, 7 kabupaten/kota diantaranya ada di provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Sumba Timur, Sumba Barat, Manggarai Barat, Ngada, Timor Tengah Selatan, Ende dan Manggarai Timur. Satu lagi di Kota Manado Sulawesi Utara.

“Untuk wilayah lain dilaporkan memang terjadi peningkatan kasus, namun jumlahnya belum dapat disebut sebagai KLB,” ujarnya.

Dijelaskan, penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya DBD, disebutkan rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat dan padatnya populasi nyamuk penular.

“Saat musim hujan, terjadi banyak genangan air yang menjadi perindukan sarang nyamuk tersebar di pohon, tempat sampah, botol bekas air mineral, pelepah daun, talang air dan ban bekas. Pentingnya menjaga lingkungan terbebas dari proses perindukan nyamuk,” ujarnya.

Nadia meminta masyarakat waspada jika menemukan gejala seperti demam tinggi mendadak berlangsung sepanjang hari, nyeri kepala, nyeri saat menggerakan bola mata dan nyeri punggung, kadang disertai adanya tanda-tanda perdarahan, dan nyeri di ulu hati pada anak.

“Masa inkubasi demam berdarah secara teori berlangsung selama 3-14 hari, tetapi umumnya terjadi 4-7 hari,” tuturnya.

Ditambahkan, kasus DBD terbanyak pada anak. Tahun lalu penderita DBD banyak pada anak usia dibawah 10 tahun, sedangkan tahun ini pada anak usia 13-15 tahun. Kemungkinan penularannya terjadi di sekolah.

“Kami juga minta pada pihak sekolah untuk rajin menjaga kebersihan lingkungan sekolah agar terhindar dari DBD,” ujarnya.

Nadia menyebutkan beberapa upaya pertolongan pertama bagi penderita DBD, yaitu istirahat dengan berbaring, perbanyak asupan cairan dengan minum air minimal 2 liter per hari, lakukan kompres hangat, minum parasetamol jika demam tinggi

“Jika dalam 2-3 hari gejala makin memburuk seperti pasien tampak Iemas, muntah-muntah, gelisah atau timbul pendarahan spontan seperti mimisan, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna dan Iainnya maka segera bawa ke rumah sakit,” katanya.

Ditanya soal langkah pemerintah dalam mengeliminasi kasus DBD, Nadia mengatakan, telah ada Surat Edaran Menteri kesehatan Nomor PV. O2. O1/Menkes/721/2018 pada 22 November 2018 lalu yang meminta pemerintah daerah untuk siaga terhadap DBD.

“Caranya, antara lain, menggiatkan kembali kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) lewat kegiatan 3M Plus dan pembentukan Jumantik (Juru Pemantik Jentik). Karena saat ini kita masih menghadapi musim penghujan, bahkan pola curah hujan yang tak menentu pada awal tahun 2019 ini,” ucap Nadia menandaskan. (Tri Wahyuni)