Suara Karya

Catatan Akhir Tahun Media dan Komunikasi: Beware! Tragedy of The Commons

Oleh Bekti Waluyo

Melihat indikasi masih akan terus dimainkannya politik identitas dalam watak post-truth, yang intens menyentuh emosi dan rasa bak cinta buta sehinga sulit dikompromikan dengan fakta-fakta, maka catatan akhir tahun 2018 untuk bidang media dan komunikasi politik ini sengaja dibuka dengan judul yang dipinjam dari terminologi bidang ekonomi, yakni Tragedy of the Commons.

Judul ini dimaksudkan sebagai pengingat bersama, bahwa strategi politik apapun yang dimainkan hari ini jangan sampai menyebabkan hilangnya kepemilikan kita bersama, yakni Pancasila, demokrasi, nasionalisme, dan persatuan NKRI.

Masa kampanye Capres-cawapres dan caleg telah dimulai pada 23 September 2018, dan akan berakhir pada 13 April 2019, dilanjutkan dengan hari tenang 14-16 April, sebelum digelarnya Pemilu serentak — yang banyak dikatakan sebagai yang terumit — pada 17 April 2019. Masa kampanye yang panjang, yang akan banyak menguras dana maupun energi. Sementara itu, prediksi bahwa tahun 2018 akan menjadi Kurusetra komunikasi politik, yang diwarnai peperangan antara fakta vs hoaks, antara voice vs noise, dan antara yang substansial vs yang emosional, mulai benar-benar terjadi.

Isu-isu terkait ekonomi, nasionalisme, agama, hingga sentimen ras masih terus dicoba digoreng dalam balutan-balutan narasi post-truth yang pertikular dan emosional, serta dengan aroma kental sentimen identitas yang beresiko melemahkan kohesi sosial dan memicu terjadinya polarisasi di masyarakat.

Ruang publik, terutama media sosial, menjadi lebih riuh lagi ketika ternyata banyak terjadi migrasi praktisi politik dari kubu capres-cawapres yang satu ke yang lain, dan mulai menyerang balik apa yang dulu didukungnya atau bahkan disuarakannya sendiri. Termasuk juga kenyataan bahwa banyak caleg yang menyeberang dari garis kebijakan dukungan yang telah digariskan oleh partainya, dan justru ramai-ramai mendukung pasangan capres-cawapres yang lainnya. Walaupun sudah demikian riuh, namun hingga minggu kedua bulan Desember, kedua kubu pasangan capres-cawapres tampaknya masih belum all-out dalam berkampanye.

Memang sudah banyak digelar deklarasi relawan pendukung di sana-sini, namun belum banyak juga yang benar-benar telah bergerak di lapangan. Tampaknya, mereka baru akan tancap gas mulai bulan Januari 2019. Semoga mulai bulan Januari nanti, para caleg pun turut menggeber mesin politik mereka karena hingga minggu kedua di bulan Desember ini sejumlah survei menemukan bahwa pengenalan teradap caleg masih rendah. Mayoritas calon pemilih belum tahu sosok, apalagi rekam jejak dari sosok yang akan mereka pilih.

Strategi Pesan di Balik Slogan

Mesin politik pasangan capres-cawapres no urut 1, Joko Widodo – Ma’ruf Amien, dan no urut 2, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sudah mulai dipanaskan. Bersama Koalisi Indonesia Kerja (KIK) Jokowi-Ma’ruf mengusung slogan”Indonesia Maju” dalam kampanye pemenangannya, berhadapan dengan Prabowo-Sandi bersama Koalisi Indonesia Adil Makmur yang maju dengan slogan Make Indonesia Great Again (MIGA).

Mereka saling berkompetisi untuk merebut hati 185.994.249 juta pemilih yang tersebar di 801.291 TPS di 514 kabupaten/kota pada 34 provinsi. Jumlah pemilih pemula yang mencapai kisaran 14 juta, dan jumlah pemilih perempuan yang 126 ribu lebih banyak dibanding jumlah pemilih pria, nampaknya menjadi segmen yang sama-sama dilirik kedua pasangan, selain pemilih Muslim yang sedari awal memang sudah digarap secara serius dengan caranya masing-masing.

Semangat dan slogan pemenangan itu kemudian dicangkokkan dalam strategi. Sebagai strategi utama Prabowo-Sandi, seperti yang pernah disampaikan oleh Wakil Ketua Tim Pemenangan Mardani Ali Sera, mereka akan fokus pada penguasaan teritori dengan membentuk gugus komando berbasis kecamatan, lalu penguasaan serangan udara yang mengandalkan big data untuk mendesain micro campaign, dan mensinergikan kerja koalisi, termasuk para caleg serta relawan pendukung.

Sementara, walaupun dikatakan masih dalam pematangan, Koalisi Indonesia Kerja pun sama-sama telah menyiapkan penguasaan udara dan darat, termasuk rencana pembentukan tim kampanye daerah hingga ke level bawah, serta konsolidasi kerja dengan tim relawannya.

Selanjutnya adalah tentang gaya komunikasi para capres dan cawapres kita. Dalam
berkomunikasi dengan segmen yang disasar, Joko Widodo tampak menggunakan gaya
komunikasi yang terbuka, dialogis dua arah, yang informal dan santai. Meminjam
pengkategorian ahli komunikasi Steward L Tubbs dan Sylvia Moss, gaya Jokowi ini termasuk equalitarian style. Gaya ini juga diadopsi oleh Sandiaga Uno, walau nampaknya secara khusus telah dipoles dan dikombinasikan dengan gaya komunikasi pemasaran yang disesuaikan dengan lifestyle dari segmen yang disasar, sehingga muncul metafor dan jargon-jargon yang unik seperti: tempe setipis ATM.

Sementara gaya komunikasi Ma’aruf Amin terkesan lebih formal, sebagaimana terlihat dalam blusukannya ke pesantren-pesatren, Prabowo Subianto menujukkan gaya komunikasi yang dinamis, tegas dan tanpa tendeng aling-aling atau to the point (dynamic
style). Masing-masing gaya komunikasi tentunya memiliki kekuatan dan kelemahannya sendiri-sendiri.

Yang menarik, dengan gaya komunikasi yang sama, dalam beberapa kesempatan,
Sandiaga nampak dengan sengaja mengumpan gambit (istilah dalam catur, biasanya yang diumpan adalah pion untuk maksud agar dimakan lawan tanding dan kemudian memberikan hasil yang lebih menguntungkan.). Dalam permainan seperti ini, Joko Widodo semestinya lebih berhati-hati sehingga tidak terpancing untuk memasuki permainan Sandi.

Tetapi bukan itu saja, yang menarik untuk ditelisik adalah strategi pesan yang sangat mungkin telah didesain di balik slogan masing-masing pasangan capres-cawapres. Di balik slogan “Indonesia Maju” yang diusung Jokowi-Ma’aruf, ada gambaran tersirat bahwa mereka akan fokus untuk menyampaikan pesan-pesan tentang hasil-hasil dari kinerja pemerintahan Jokowi dalam lima tahun ini, menyuguhkan data-data tentang kemajuan dan pembangunan, hingga testimoni-testimoni dari mereka yang telah merasakan dampak baik dari hasil konerja, termasuk juga berbagai pengakuan yang menguatkan pesan itu.

Di sini ada juga pesan tentang kedinamisan pembangunan dan janji kesinambungan bahwa dengan memilih duo Jokowi-Ma’aruf maka berbagai program pembangunan yang telah dan tengah berlangsung ini akan diteruskan sehingga Indonesia akan semakin maju. Lalu bagaimana dengan strategi pesan di balik slogan Prabowo- Sandiaga Uno: Make Indonesia Great Again. Di sini, sangat mungkin mereka akan tutup mata, menyangkal atau bahkan menegasikan apa yang dikatakan sebagai kemajuan atau hasil kinerja
yang baik selama lima tahun terakhir ini. Kritik-kritik yang tajam akan banyak digunakan untuk mempertanyakan apa saja yang bisa dipertanyakan, termasuk janji-janji kampanye Jokowi pada pilpres 2014 yang belum terpenuhi hingga hari ini. Kinerja bagus yang dapat pengakuan dari banyak pihak pun sangat mungkin sengaja dinilai sebagai mediokre saja, belum apa-apanya jika dibandingkan dengan menjadi “Great Again” walau inipun akan sangat sulit untuk dijelaskan menjadi “great again” yang seperti apa.

Jika pendapat ini benar, maka yang akan kita saksikan di hari-hari mendatang adalah seperti melihat tubuh dan bayang-bayangnya, merapat di satu ujung, tetapi tak pernah benar-benar bertemu dalam satu kasunyatan. Ketika Jokowi-Ma’aruf menyampaikan data-data keberhasilan pembangunan, maka Prabowo-Sandi akan menyampaikan kegagalan Jokowi memenuhi janjijanjinya; ketika Jokowi-Ma’aruf mencoba menjelaskan slogan Indonesia Jaya sehingga dimengerti, Prabowo-Sandiaga akan membakar emosi massa dengan sensasi “Great Again”, ketika Jokowi-Ma’aruf membangun narasi-narasi kebersamaan, Prabowo-Sandiaga akan menawarkan metafor dan retorika yang mengulik emosi; dan seterusnya.

Analoginya: ketika Jokowi mengajak kita untuk menikmati lukisan realis, Prabowo mengundang kita untuk menikmati lukisan surealis. Politik Media: Skenario Politik Polarisasi? Media adalah salah satu komponen yang sangat penting dalam masyarakat demokrasi. Seperti dua sisi mata uang, untuk menjadi bernilai, keduanya saling membutuhkan. Media memerlukan politik sebagai kontennya, dan politik memerlukan media sebagai wadah dalam pengelolaan pesan dan citra yang ingin dibentuk. Dan kemajuan teknologi memberikan lebih banyak pilihan bagi para pelaku politik untuk memilih yang paling tepat dan efektif untuk tersampaikannya pesan-pesan mereka. Dalam hubungannya dengan media, bagi pasangan Jokowi-Ma’ruf tidak ada masalah yang
berarti terkait dengan kebutuhan politiknya. Kalaupun ada, sifatnya hanya minor. Apalagi
Jokowi sendiri memang termasuk media darling, selain fakta bahwa beberapa pemilik media nasional telah menyatakan bergabung dengannya. Tetapi bagi pihak Prabowo, hubungan antara sejumlah pemilik media dengan Jokowi membawa pertanyaan atas netralitas mereka.

Dan puncaknya, ketika banyak media mainstream tidak meliput atau menempatkan pemberitaan tentang event Alumni 212 di mana Prabowo hadir dan mendapatkan dukungan, Prabowo menyatakan dirinya tidak mau menganggap mereka lagi, dan bahkan mengajak publik untuk tidak lagi percaya pada media yang tidak memberikan porsi pemberitaan seperti yang diharapkannya itu.

Media-media itu telah berbohong lagi, dan lagi. Tentang kenetralan media mainstraim dalam konteks pemilu itu sendiri sebenarnya tidak perlu lagi terlalu dikhawatirkan karena sudah ada empat lembaga yang bertugas mengawasi di media cetak, media penyiaran, media eletronik, serta media daring yakni Bawaslu, KPU, KPI, dan Dewan Press. Sikap untuk memboikot dan sama sekali tidak menganggap lagi eksistensi media-media itu juga berarti mempertanyakan netralitas keempat lembaga yang sudah bersepakat untuk melakukan membentuk gugus tugas pengawasan media secara adil, berimbang, dan independen.

Karenanya, dari kasus ini kemudian muncul pertanyaan lagi: apakah pernyataan Prabowo itu benar-benar karena kegeraman yang memuncak atas apa yang diyakininya sebagai ketidaknetralan, ataukah itu bagian dari desain untuk menggiring agar publik lebih percaya pada media sosial yang memang menjadi salah satu kekuatan mereka yang unggul? Sebagai catatan tambahan, kemenangan Donald Trump dalam Pilpes di Amerika nampaknya menjadi inspirasi bagi pasangan Prabowo-Sandiaga dalam pemanfaatan media sosial sebagai sarana kampanye, selain itu juga pemanfaatan kampanye mikro berbasis big data dalam kasus Brexit di London, yang setidaknya ini sudah diakui oleh Mardani Ali Sera dari tim kampanyenya.

Dan sepertinya juga bukan kebetulan kalau imbauan Prabowo untuk tidak percaya terhadap sejumlah media besar ternyata sama dengan sikap Donald Trump yang bahkan menyebut media-media mapan seperti The New York Times, NBC, ABC, CBS, hingga CNN sebagai media abal-abal yang sesat. Dalam kemungkinan sebagai bagian dari strategi (taktik yang juga telah digunakan oleh kaum Nazi di Jerman sebagai bagian dari propagandanya yang jitu, yakni dengan memberikan metafora, atau kata yang digeser maknanya dan terus diulang-ulang, yang dalam konteks media pada waktu dipilih istilah lügenpresse (lying-press/pers yang bohong)), telah berulagkali terbukti keberhasilannya.***

Penulis adalah peneliti senior PARA Syndicate.

Tulisan merupakan makalah dalam Diskusi Syndicate Update Seri Evaluasi Politik Akhir Tahun, pada 14 Desember 2018.

Related posts