Satu Dari 1000 Bayi di Indonesia Berisiko Terkena Tuli Kongenital

0

JAKARTA (Suara Karya): Satu dari 1000 bayi baru lahir tenyata berisiko terkena tuli kongenital. Untuk itu, pentingnya ibu hamil berperilaku hidup sehat dan konsumsi asupan dengan gizi seimbang.

“Jika dihitung dari angka kelahiran bayi setiap tahunnya, maka ada 5 ribu anak Indonesia yang berisiko terkena gangguan pendengaran,” kata Perwakilan Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI KL), Fikri Mirza Putranto kepada wartawan, di Jakarta, Selasa (3/3/20).

Ditambahkan, risiko itu akan meningkat 10 kali lipat jika anak lahir dengan faktor risiko lainnya, seperti berat badan rendah atau infeksi pada ibu hamil. Itulah salah satu alasan angka risiko gangguan pendengaran setiap tahunnya terus meningkat.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan ada 0,11 persen pada anak usia kurang dari 5 tahun atau berjumlah sekitar 25 ribu kasus tergolong kategori tuli. Sebagian besar pasien tak bisa lagi menggunakan alat bantu dengar, melainkan butuh operasi.

“Itulah kenapa sosialisasi tentang gaya hidup sehat di kalangan ibu hamil harus terus dilakukan. Karena tak sedikit bayi lahir berisiko terkena gangguan pendengaran atau penyakit penyerta lainnya,” ujarnya.

Dokter spesialis hidung dan tenggorokan itu menegaskan, anak baru lahir harus menjalani skrining kesehatan, termasuk pendengarannya. Dengan demikian, dokter akan mencari solusi atas masalah yang dihadapi, tanpa menunggu kondisinya makin parah.

“Sebelum pulang ke rumah, fasilitas kesehatan harus memastikan bayi tak memiliki faktor risiko yang dapat mengganggu tumbuh kembangnya. Jika ada, risiko itu bisa ditangani lebih baik,” tuturnya.

“Pada prinsipnya anak baru lahir dapat diskrining kesehatan pendengarannya, idealnya sebelum pulang ke rumah sudah dipastikan,” kata dr. Fikri.

Untuk mengenali ketulian pada orang dewasa, dokter Fikri mengatakan, ajak bicara saja. Jika ia kesulitan mengikuti komunikasi di tempat ramai, hal itu bisa menjadi pertanda awal proses ketulian.

“Itu gejala gangguan pendengaran paling ringan. Apalagi jika yang ngajak bicara ada 2-3 orang sekaligus,” katanya.

Dijelaskan, faktor penyebab gangguan pendengaran ada dua, yaitu faktor mekanik seperti ada infeksi telinga atau gendang telinga tertutup oleh kotoran. Kedua faktor gangguan pada syaraf. Sehingga suara dari luar tidak bisa diantar naik ke otak.

“Untuk memahami pembicaraan orang lain, dibutuhkan kualitas syaraf yang baik sehingga suara luar bisa ditangkap otak. Coba tes saat berada di tempat ramai orang berbicara, apakah mendengar dengan baik suara-suara itu,” tuturnya.

Ditambahkan, sebenarnya ada aplikasi yang bisa diakses di telepon genggam untuk menguji ketajaman pendengaran. Aplikasi yang dibuat badan kesehatan dunia WHO itu mampu mengukur bising lingua seseorang.

“Bagi mereka yang ingin tahu sebaik apa pendengarannya, bisa coba tes pakai aplikasi itu,” kata dokter Fikri menandaskan. (Tri Wahyuni)