JAKARTA (Suara Karya): Aktor papan atas Reza Rahadian resmi menapaki babak baru dalam kariernya sebagai sutradara lewat film perdananya berjudul Pangku.
Film yang mengangkat kisah perjuangan seorang ibu di wilayah Pantura itu diputar dalam acara nonton bareng (nobar) bersama Lembaga Sensor Film (LSF) di Margo City, Depok, Kamis (13/11/25).
Hadir dalam kesempatan yang sama, Produser Film Pangku, Arya Ibrahim; Ketua LSF, Naswardi;
Ketua Komisi II LSF, Ervan Ismail; dan Ketua Subkomisi Hukum dan Advokasi LSF, Saptari Novia Stri.
Dalam kesempatan itu, Reza mengaku, keputusannya menyutradarai film bukan karena ingin berpindah profesi, melainkan karena dorongan untuk keluar dari zona nyaman setelah dua dekade berkarya sebagai aktor.
“Sudah 20 tahun saya berakting, dan saya merasa mulai terlalu nyaman. Buat saya, itu ruang yang berbahaya. Jadi keputusan untuk menyutradarai film ini adalah cara saya untuk bertumbuh, bergerak dan berani mengambil risiko,” ujarnya.
Reza menyebut, Pangku lahir dari keresahan pribadinya terhadap tema keluarga dan perjuangan hidup, terutama sosok seorang ibu.
“Saya tumbuh bersama ibu tunggal. Jadi ketika membuat film ini, saya seperti kembali ke akar sensitifitas saya terhadap perjuangan perempuan dan ketulusan seorang ibu,” ungkapnya.
Menurut Reza, Pangku bukan film yang mengumbar drama besar, tapi justru menyoroti kehidupan sederhana masyarakat yang kerap luput dari layar lebar.
“Banyak orang di luar sana yang hanya hidup untuk bertahan. Dan itu sudah merupakan pencapaian besar. Saya ingin menyoroti sisi itu, bukan untuk mengeksploitasi kemiskinan, tapi untuk melihat harapan yang muncul didalamnya,” katanya.
Reza menuturkan, film Pangku sendiri lahir dari proses panjang. Ide awalnya dipresentasikan Reza di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF), sebelum kemudian dibawa ke Cannes Film Festival dan Busan International Film Festival.
“Kami memulainya dari ruang kecil 3×3 meter, mendirikan rumah produksi bernama Gambar Gerak hanya dengan tiga orang. Dari situ kami buktikan, tidak ada mimpi yang terlalu kecil untuk diwujudkan,” tuturnya bangga.
Film Pangku sendiri mengangkat kisah sederhana tentang perjuangan seorang ibu yang bertahan hidup di tengah keterbatasan, di daerah Pantura (Pantai Utara) Jawa. Tradisi kopi pangku diketahuinya saat ia syuting di daerah tersebut.
“Saya lalu riset dengan Felix selama sekitar 6 bulan untuk memotret fenomena kopi pangku ini. Film ini bisa menjadi refleksi kita semua, kadang bertahan hidup saja sudah merupakan pencapaian besar,” ucapnya.
Ketua LSF Naswardi memuji karya debut Reza yang dinilai penuh empati dan kedalaman. “Mas Reza ini multi-talenta, ya aktor, pengacara, bahkan dokter di layar. Tapi kini juga membuktikan diri sebagai sutradara yang matang. Pangku adalah karya yang jujur dan menyentuh,” kata Naswardi.
Menangapi hal itu, Reza menyoroti peran penting LSF dalam mendukung ruang kreatif bagi pembuat film Indonesia.
“Dulu, saya sering mengkritik LSF. Tapi sekarang LSF sudah jauh lebih terbuka dan dialogis. Mereka bukan lagi lembaga tukang ‘potong’ film, tapi membangun kesadaran publik tentang tontonan yang sehat,” pungkasnya.
Di akhir sesi, Reza berpesan kepada para pelajar dan mahasiswa yang hadir agar berani memulai dari hal kecil.
“Mulailah dari sesuatu yang dekat dengan hidupmu. Tidak ada cerita yang tidak penting. Setiap orang punya kisah yang layak diceritakan,” kata Reza menandaskan. (Tri Wahyuni)

