Suara Karya

Diduga Menyimpang, Aktivis Pendidikan Luncurkan Kawalruusisdiknas.id

JAKARTA (Suara Karya): Gerah atas sikap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) yang tak terbuka atas materi draft Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), sejumlah aktivitas pendidikan membuat website www.kawalruusisdiknas.id.

“Pengawalan ini menjadi penting, karena ada kecenderungan RUU Sisdiknas dibuat untuk melegalisasi program kerja di Kemdikbudristek saja,” kata pengamat pendidikan Indra Charismiadji dalam peluncuran www.kawalruusisdiknas.id, di Jakarta, Rabu (13/4/22).

Hadir dalam kesempatan itu, Wakil Ketua NU Circle Bidang Pendidikan dan SDM Ahmad Rizali; Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan, Dhitta Puti Sarasvati; dan Kepala Bidang (Kabid) Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri.

Ditambahkan, para aktivis selama ini menemukan sejumlah kejanggalan dan manipulasi dalam pasal-pasal draft RUU Sisdiknas, seperti hilangnya nomenklatur madrasah, komersialisasi pendidikan, dan bergesernya tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Undang-Undang Sisdiknas seharusnya menjadi panduan dan pedoman bagi bangsa Indonesia di bidang pendidikan. Tetapi yang terlihat selama ini hanya sekadar melegalisasi atas program-program kerja di Kemdikbudristek,” ujarnya.

Karena itu, Indra berharap kepada guru, orangtua, dosen, mahasiswa, peserta didik, pemerhati pendidikan dan masyarakat umum yang peduli atas nasib pendidikan nasionap mau iku mengawal pembahasan RUU Sisdiknas.

Disebutkan, penyusunan RUU Sisdiknas menggunakan konsep Omnibus yang menggabungkan tiga UU yaitu UU 20/2003 (Sisdiknas); UU 14/2005 (Guru dan Dosen), dan UU 12/2012 (Pendidikan Tinggi).

“Informasi terkait draft RUU Sisdiknas sangat terbatas, karena hingga saat ini Kemdikbudristek bertahan tidak mau membuka berkas untuk publik secara luas,” ungkapnya.

Nantinya, lanjut Indra, website akan berisi informasi mengenai dokumen tentang pendidikan, pasal-pasal dalam draft RUU Sisdiknas yang dapat dibaca dan diberi tanggapan oleh masyarakat. Kajian dan analisis dari pemangku kepentingan juga akan diinformasikan di website.

“RUU Sisdiknas ini menyangkut masa depan pendidikan dan generasi Indonesia di masa depan. Karena itu, setiap warga negara berhak untuk tahu ibi dokumen RUU Sisdiknas dan terlibat penuh (meaningful participation) dalam menentukan kebijakan pendidikan,” ucap Indra menegaskan.

Hal senada dikemukakan Wakil Ketua NU Circle Bidang Pendidikan dan SDM Ahmad Rizali. Satu temuan paling krusial, yaitu draft RUU Sisdiknas dijadikan sebagai rujukan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Riset dan Teknologi Nomor 14 Tahun 2022 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Besar Guru Penggerak dan Balai Guru Penggerak.

“Jika kami sandingkan, draft RUU Sisdiknas ini menjadi dasar terbitnya Permendikbudristek. Dalam Permen, definisi menteri merujuk ke draft RUU Sisdiknas dan bukan ke UU Sisdiknas yang masih berlaku. Ada pihak-pihak yang memilikiambisi hitam dengan cara memasukkan kepentingannya dalam RUU Sisdiknas,” katanya.

Dengan diacunya draft RUU Sisdiknas dalam kebijakan resmi yang dibuat Menteri, maka dapat dipastikan hilangnya nomenklatur madrasah merupakan sebuah kesengajaan.

“Kami yakini ada kesengajaan membuang nomenklatur madrasah, sehingga Sistem Pendidikan Nasional tidak lagi menaungi madrasah-madrasah dan pesantren yang ada di Tanah Air,” tuturnya.

Sementara itu, Dhitta Puti Sarasvati dari Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan menyatakan sebagai regulasi nasional, desain RUU Sisdiknas ini sangat buruk. Desain keseluruhan RUU Sisdiknas tidak mencerminkan sebuah kesadaran negara untuk mendidik warga negaranya agar mengenali identitas dan jati diri bangsanya serta mempertahankan keberlanjutan bangsa dan negaranya.

“Dalam RUU Sisdiknas ini, pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional tidak didefinisikan. Ada beberapa perubahan fundamental yang terjadi di dalam RUU ini,” katanya.

Ia mencontohkan, keberadaan dewan pendidikan dan komite sekolah yang dihapus. Padahal keduanya berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan dengan memberi pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan baik di level sekolah, daerah, maupun nasional.

“Harusnya kedua badan itu tidak dihapuskan, tapi justru dimaksimalkan fungsinya untuk perbaikan mutu pendidikan nasional,” kata Puti.

Menurut Puti, sistem pendidikan nasional adalah alat untuk mengakomodasi keberagaman model pendidikan dan pembelajaran, serta menjamin setiap warga negara mendapat pendidikan yang layak untuk dirinya. Tugas pemerintah adalah memastikan sistem pendidikan nasional mencerdaskan kehidupan bangsan sesuai amanat UUD 1945 Pasal 31 Ayat 3.

“Sistem Pendidikan Nasional hendaknya tidak hanya berbicara soal sekolah, tapi juga menjadi dasar pemenuhan hak warga negara yang belum terfasilitasi melalui persekolahan umum, seperti masyarakat adat, pendidikan/sekolah rumah dan aneka jenis pendidikan alternatif lain,” ucap Puti.

Kepala Bidang (Kabid) Advokasi Guru Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menyebut RUU Sisdiknas memicu ketidakjelasan dan ketidakadilan terhadap jenjang karir guru. Contohnya, guru swasta yang sudah lama menjadi pegawai yayasan, lalu pindah ke sekolah lain, karirnya dari nol lagi.

“Hal ini juga terjadi dalam Rekrutmen Guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Guru honorer atau swasta yang sudah lama mengajar dan mengikuti seleksi ini jenjang karirnya dari nol lagi,” ucapnya.

Dalam RUU Sisdiknas, karir guru hanya disebut sepintas pada pasal 124 yang menyatakan bahwa guru bisa menjadi pemimpin dalam lembaga pendidikan. “P2G menilai RUU Sisdiknas ini belum berpihak pada guru sepenuhnya. Bahkan berpotensi merugikan dan merendahkan martabat profesi guru, kata Iman.

Iman juga menilai RUU Sisdiknas ini tak menjamin kesejahteraan guru. Karena itu, P2G mendorong UU Sisdiknas mengatur upah minimum profesional guru.

Aktivis pendidikan yang ikut memantau perkembangan RUU Sisdiknas melalui website www.kawalruusisdiknas.id, disebutkan antara lain NU Circle, Vox Populi, Perhimpunan Pendidikan dan Guru, Aliansi Pendorong Keterbukaan Kebijakan Pendidikan, Jaringan Pendidikan Alternatif, Sokola Institute, dan Perkumpulan Homeschooler Indonesia. (Tri Wahyuni)

Related posts