
JAKARTA (Suara Karya): Kurikulum sekolah vokasi (kejuruan) seharusnya direvisi setiap tahun. Dalam prosesnya, Pastikan ada keterlibatan dunia usaha dan dunia industri (DUDI) dalam penyusunannya.
“Karena program link&match di sekolah vokasi itu, jantungnya ada di kurikulum. Tanpa keterlibatan DUDI, boleh dibilang program link&match akan sulit dijalankan,” kata Dirjen Pendidikan Vokasi (Diksi) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Wikan Sakarinto saat inspeksi mendadak (sidak) ke sekolah vokasi di Solo, Jawa Tengah, akhir pekan lalu.
Tiga sekolah yang dikunjungi yaitu SMK Negeri 2 Solo, SMK Warga Solo dan SMK 1 Muhammadiyah Sukoharjo.
Wikan mengaku dapat melihat apakah program link&match berjalan di sekolah vokasi hanya dengan mencermati kurikulumnya. “Tiga sekolah yang saya kunjungi memiliki kurikulum sekolah yang sudah dibahas bersama dengan industri. Berarti, program link&match di tiga sekolah tersebut sudah berjalan dengan baik,” ucapnya.
Kurikulum di sekolah vokasi, lanjut Mantan Dekan Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada itu, sebaiknya direvisi setia tahun untuk menyesuaikan keterampilan yang dibutuhkan DUDI. Revisi itu penting agar ilmu dan keterampilan yang diajarkan di sekolah vokasi tidak ketinggalan zaman.
Wikan mengaku tak heran jika tiga sekolah yang dikunjunginya tersebut memiliki daya serap lulusan hingga 93 persen. Karena program link&match sudah berjalan secara benar.
“Kami minta pada sekolah vokasi di seluruh Indonesia untuk menerapkan kebijakan link&match yang diputuskan pusat secara tuntas. Hal itu akan memberi dampak pada lulusan sekolah vokasi,” kata Wikan menegaskan.
Apalagi saat ini Ditjen Diksi Kemdikbud siap meluncurkan sejumlah program untuk sekolah maupun kampus vokasi agar dapat menerapkan program link&match secara benar. Dana yang dianggarkan untuk capaian tersebut tak tanggung-tanggung, yaitu Rp3,5 triliun.
“Program binaan ini akan mendorong sekolah dan kampus vokasi tak sekadar penandatanganan kerja sama (MoU), tetapi juga bisa “menikah” dengan industri,” tuturnya.
Wikan menyebut “pernikahan” sekolah atau kampus vokasi dengan industri dibuktikan lewat perubahan kurikulum, program magang, pelatihan guru vokasi hingga kesempatan kerja bagi lulusan terbaik sekolah dan kampus vokasi.
“Kalo sekadar penandatangan MoU itu baru sekadar “pacaran”. Itu model lama. Sekarang harus bisa sampai penyusunan kurikulum, magang bagi siswa, pelatihan bagi guru hingga peluang kerja bagi lulusan. Tahapnnya harus sudah sedetail itu,” ucap Wikan.
Dan yang tak kalah penting, menurut Wikan, siswa sekolah vokasi harus diajarkan seimbang antara hardskills dengan softskills. Hal itu akan membuat lulusan SMK mendapat nilai tambah di kalangan siswa sekolah menengah pertama. Dampaknya peminat SMK semakin banyak.
“Lulusan SMK di masa depan, tak hanya memiliki kompetensi dalam bidangnya, tetapi juga memiliki keahlian dalam komunikasi serta karakter dan budaya kerja. Bahkan, jika perlu lulusan SMK dapat melanjutkan pendidikan ke level sarjana terapan dan magister (S-2) terapan baik dalam maupun luar negeri,” katanya.
Wikan dalam kesempatan itu menyatakan kebanggaannya terhadap tiga sekolah di Solo yang berhasil mengembangkan beragam keterampilan. Salah satunya SMK Warga Solo yang mampu membuat mesin CNC (Computer Numerical Control) yang disebut HKI (Hasil Karya Indonesia).
“Mesin ‘CNC’ 3 Axis dan 5 Axis adalah hasil karya bersama siswa, guru dan industri mitra SMK Warga Solo. Dalam waktu dekat, sekolah bersama industri King Manufaktur akan memproduksi mesin CNC lebih massal,” ujarnya.
Wikan berharap SMK, perguruan tinggi dan industri nasional dapat membeli dan memanfaatkan mesin CNC HKI yang mana produknya sudah terdaftar dalam aplikasi pengadaan sekolah, SIPLah. “Karya anak bangsa harus diapresiasi oleh bangsa sendiri. Maka industri buatan sendiri semakin berkembang,” katanya.
Dirjen Diksi juga mengapresiasi SMK 1 Muhammadiyah Sukoharjo yang berhasil memproduksi alat kesehatan, terutama tempat tidur untuk rumah sakit dengan kualitas SNI (Standar Nasional Indonesia). Sekolah tersebut mampu memproduksi sekitar 20-40 unit tempat tidur per bulan.
“Produk tempat tidur itu sudah digunakan sejumlah rumah sakit di Sukoharjo dan sekitarnya. Produk semacam ini harus dibantu pemasarannya agar industri dalam negeri dapat tumbuh dan berkembang,” ucap Wikan menandaskan. (Tri Wahyuni)