Suara Karya

Diluncurkan Merdeka Belajar Episode 17: Revitalisasi Bahasa Daerah

JAKARTA (Suara Karya): Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Merdeka Belajar Episode 17: Revitalisasi Bahasa Daerah.

Revitalisasi bahasa daerah, menurut Nadiem, perlu dilakukan karena Indonesia memiliki 718 jenis bahasa daerah, dan sebagian besar kondisinya terancam punah dan kritis.

“Banyak penutur bahasa daerah yang tak lagi menggunakan dan mewariskan bahasa tersebut ke generasi berikutnya. Sehingga khazanah kekayaan budaya, pemikiran dan pengetahuan akan bahasa daerah terancam punah,” kata Mendikbudristek saat peluncuran Merdeka Belajar Episode 17, secara daring, Selasa (22/2/22).

Untuk itu, lanjut Nadiem, perlu dilakukan revitalisasi bahasa daerah, yang bersifat dinamis, adaptif, regenerasi dan merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya.

“Dinamis yang berorientasi pada pengembangan, bukan sekadar proteksi atas bahasa. Adaptif dengan situasi lingkungan sekolah dan masyarakat penuturnya. Regenerasi yang fokus pada penutur muda di tingkat sekolah dasar dan menengah, serta merdeka berkreasi dalam penggunaan bahasanya,” ujarnya.

Sasaran dari revitalisasi bahasa daerah adalah 1.491 komunitas penutur bahasa daerah, 29.370 guru, 17.955 kepala sekolah, 1.175 pengawas, serta 1,5 juta siswa di 15.236 sekolah.

Untuk komunitas penutur, Kemdikbudristek akan melibatkan secara intensif keluarga, maestro dan pegiat pelindungan bahasa dan sastra dalam menyusun model pembelajaran bahasa daerah, pengayaan materi bahasa daerah dalam kurikulum, dan perumusan muatan lokal kebahasaan dan kesastraan.

Kemdikbudristek akan melatih para guru utama serta guru-guru bahasa daerah; mengadopsi prinsip fleksibiltas, inovatif, kreatif, dan menyenangkan yang berpusat kepada siswa; mengadaptasi model pembelajaran sesuai dengan kondisi sekolah masing-masing; serta membangun kreativitas melalui bengkel bahasa dan sastra.

“Siswa nantinya dapat memilih materi sesuai minat. Sehingga timbul rasa bangga akan bahasa daerah yang digunakan dalam komunikasi. Dorong hasil karya dipublikasi, ditambah liputan media massa dan media sosial. Selain ikut festival berjenjang di tingkat kelompok/pusat pembelajaran, kabupaten/kota, dan provinsi,” ujarnya.

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri, Muhammad Tito Karnavian mengatakan, bahasa menunjukkan peradaban dan budaya serta tradisi yang harus dilestarikan. “Mari kita jaga kelestarian bahasa daerah kita masing-masing. Jangan sampai punah,” ujarnya.

Upaya Kemdikbudristek dalam revitalisasi bahasa daerah pun banyak mendapat dukungan. Salah satunya dari Asistant General For Education UNESCO, Stefania Giannini. Katanya, jika bahasa daerah masuk dalam kondisi kritis, maka bersamaan dengan itu pula budaya dunia dan sistem pengetahuan leluhur ikut terancam punah.

Menurut Stefania Giannini, upaya perlindungan dan pelestarian bahasa adalah hak masyarakat adat. Mereka melestarikan, merevitalisasi dan mempromosikan bahasa mereka, dan mengarusutamakan keragaman bahasa dan multibahasa ke dalam semua pembangunan berkelanjutan yang berjalan.

“Kita harus pastikan teknologi digital mendukung penggunaan dan pelestarian bahasa dan keragaman bahasa ini,” ujarnya.

Ketua Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Syaiful Huda dalam kesempatan yang sama, mengatakan, momen Hari Bahasa Ibu Internasional harus dimanfaatkan bangsa Indonesia untuk melestarikan dan mengajarkan bahasa daerah kepada generasi muda.

“Ini bagian dari menciptakan generasi yang cinta, dan punya karakter terhadap dirinya. Karena itu, kembali ke bahasa daerah menjadi bagian dari upaya kita (pemerintah) untuk mencetak anak-anak kita untuk berkarakter sebagaimana bahasa ibunya,” ujarnya.

Mendikbudristek Nadiem Makarim menambahkan, pada 2022, jumlah bahasa daerah yang menjadi objek revitalisasi ada 38 bahasa daerah yang tersebar di 12 provinsi. Disebutkan, Sumatra Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Bali, NTT, NTB, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Maluku Utara dan Papua.

Kemdikbudristek merancang 3 model revitalisasi yang sesyluai kondisi di lapangan. Model A, dimana karakteristik daya hidup bahasanya masih aman, jumlah penuturnya masih banyak, dan masih digunakan sebagai bahasa yang dominan ddalam masyarakat penuturnya.

“Pendekatan pada model A ini adalah pewarisan yang dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah atau berbasis sekolah. Contohnya penggunaan bahasa Jawa, Sunda, dan Bali di sekolah,” ujar Nadiem.

Selanjutnya model B, dimana karakteristik daya hidup bahasanya tergolong rentan, jumlah penuturnya relatif banyak dan bahasa daerahnya digunakan secara bersaing dengan bahasa-bahasa daerah lain.

Pendekatan model B adalah pewarisan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah, jika wilayah tutur bahasa itu memadai dan pewarisan dalam wilayah tutur bahasa juga dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas.

Pada model C, dimana karakteristik daya hidup bahasanya kategori mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis, serta jumlah penutur sedikit dan dengan sebaran terbatas. Pendekatan yang dilakukan adalah pewarisan melalui pembelajaran berbasis komunitas.

Untuk itu, ada dipilih dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar atau menggunakan pusat kegiatan masyarakat seperti tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat.

Puncak Revitalisasi Bahasa Daerah akan berujung pada Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI). Festival itu merupakan media apresiasi kepada para peserta revitalisasi bahasa daerah yang dilakukan secara berjenjang, mulai dari sekolah hingga komunitas belajar.

“Dalam FTBI ini, kita mengusung 7 materi yaitu membaca dan menulis aksara daerah, menulis ceita pendek, membaca dan menulis puisi (sajak atau gurit), mendongeng, pidato, tembang tradisi, dan komedi tunggal,” kata Mendikbudristek menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts