JAKARTA (Suara Karya): Perhitungan tarif rumah sakit dengan skema Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs) dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sudah waktunya diganti. Skema tersebut dinilai gagal dalam memberi layanan kesehatan berkualitas.
“Negara seperti Malaysia dan Thailand sudah tidak pakai lagi skema tarif seperti INA-CBGs. Bahkan Komisi IX pada dengar pendapat pada beberapa waktu lalu juga merekomendasikan agar skema INA-CBGs diganti,” kata Ketua Perkumpulan Dokter Indonesia Bersatu (PDIB), James Allan Rarung di Jakarta, Kamis (8/11/2018).
Rarung menambahkan, dalam skema INA-CBGs, jasa kesehatan dibayar berdasarkan pengelompokan diagnosis penyakit. Sebelum JKN diterapkan, tarif rumah sakit merujuk pada fee for service, dokter dibayar per tindakan yang dilakukan.
“Dengan sistem yang ada sekarang, dokter dibayar lebih murah karena gajinya dihitung berdasarkan pengelompokan penyakit,” kata dokter spesialis kandungan dan kebidanan itu.
Selain itu, lanjut Rarung, skema INA-CBGs merugikan kalangan medis. Karena pihak rumah sakit berusaha membayar obat-obatan lebih dulu, baru jasa medisnya.
“Karena proses klaim memerlukan verifikasi oleh BPJS Kesehatan, waktu pembayaran ke rumah sakit jadi lama. Padahal rumah sakit membutuhkan dana operasional agar bisnisnya tetap berjalan,” katanya.
Menurut Rarung, skema INA-CBGs rawan kebocoran. “Jika banyak kelemahan, kenapa skema ini masih dipertahankan pemerintah,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Koordinator BPJS Watch, Timboel Siregar. Dalam kesempatan terpisah, Timboel menduga paket pembiayaan INA CBGs yang diterapkan BPJS Kesehatan pada sekitar 2400-an rumah sakit se-Indonesia membuat pasien mendapat pelayanan dibawah rata-rata (under-treatment).
“Karena paket pembayaran yang diberikan pemerintah ke rumah sakit, masih belum masuk nilai keekonomian atas jasa medisnya,” ujarnya.
Karena itu, Timboel berharap, ada komunikasi antara pemerintah dan pihak rumah sakit untuk membicarakan lagi skema INA-CBGS yang selama ini diterapkan dalam program JKN. “Agar tarif yang ditetapkan pemerintah sesuai dengan nilai keekonomiannya,” ucapnya.
Hal itu harus dilakukan supaya tidak merugikan para pihak, mulai dari rumah sakit, dokter dan perawat, perusahaan alat kesehatan dan obat-obatan, sampai peserta JKN yang membutuhkan pelayanan kesehatan.
Sementara itu, Ketua terpilih Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih menyatakan hal yang berbeda. Defisit anggaran BPJS Kesehatan yang berdampak pada operasional rumah sakit dapat dilakukan lewat tiga jalan.
“Pertama menaikkan iuran setiap peserta baik untuk Kelas I, Kelas II, dan Kelas III termasuk mereka yang terdaftar sebagai peserta PBI,” kata Daeng.
Cara yang kedua, lanjutnya, mengurangi benefit pelayanan yang diberikan kepada peserta JKN. Atau penggabungan antara cara yang pertama dan kedua, yakni menambah iuran kepada peserta namun beban manfaat yang harus diberikan rumah sakit dikurangi.
Menurutnya, cara yang paling bijak yang bisa dilakukan pemerintah yaitu dengan menggunakan cara penggabungan pertama dan kedua. Yaitu, menambah kecukupan dana iuran peserta sekaligus menyesuaikan manfaat pelayanan yang diberikan rumah sakit kepada pasien. (Tri Wahyuni)