Dinilai Tak Komunikatif, Organisasi Guru Kritisi Mendikbud

0
Foto: suarakarya.co.id/Tri Wahyuni

JAKARTA (Suara Karya): Dinilai tak komunikatif, sejumlah organisasi guru memberi rapor merah kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim. Karena hingga kini, banyak guru kesulitan memahami kebijakan Merdeka Belajar yang digagas mantan Bos Gojek tersebut.

Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk “Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional” yang digelar secara daring di Jakarta, Rabu (20/5/20).

Diskusi itu dihadiri pemerhati pendidikan dan sejumlah organisasi guru, antara lain Ikatan Guru Indonesia (IGI), Forum Guru Muhammadiyah (FGM), NU Circle Pendidikan, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS).

Buruknya komunikasi Mendikbud Nadiem Makarim dirasakan Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli. Padahal saat Kemdikbud dipegang Anies Baswedan dan Muhadjir Effendy, komunikasi dan kolaborasi antara kementerian dengan organisasi guru berjalan lancar.

“Sekarang, semua harus lewat ajudan atau staf khusus. Itupun belum tentu direspon. Padahal dengan mendikbud sebelumnya, kita bisa kontak langsung. Jika ada masalah pendidikan di lapangan, kementerian langsung respon,” ujarnya.

Hal senada dikemukakan Ketua Umum FGM, Pahri. Ia berharap pola komunikasi mendikbud sebelumnya dengan forum guru dapat dihidupakan kembali. Karena saat ini, akses berkomunikasi dengan Mendikbud Nadiem Makarim amatlah sulit.

“Bagaimana kebijakan Kemdikbud bisa sampai ke tingkat guru atau sekolah, kalau sosialisasinya terhambat. Hasil angket yang dilakukan FGM terhadap 1000 guru menunjukkan hampir 60 persen guru menilai kemampuan sosialisasi Mendikbud dibawah 70,” tuturnya.

Perwakilan NU Circle Pendidikan Ahmad Rizali mengemukakan, pola komunikasi di Kemdikbud hingga saat ini masoh dirasakan membingungkan. Dampaknya, kebijakan yang pemaparannya begitu bagus tidak sampai kepada guru.

“Baru kali ini ada mendikbud yang enggan berkomunikasi dengan organisasi guru. Nadiem sering memakai bahasa yang multitafsir, sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda di lapangan. Kebijakan yang masih berbentuk rancangan juga sering bocor, lalu dianggap masyarakat sebagai kebijakan Kemdikbud,” katanya.

Rizali mengakui Program Merdeka Belajar yang digagas Nadiem terbilang cukup kreatif, namun pada kenyataannya sulit diterapkan. Karena saat mengajar, guru masih dipandu standar proses yang konvensional.

Penilaian serupa disampaikan pemerhati pendidikan yang juga Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis (CERDAS). Nadiem katanya minim sekali melakukan komunikasi kepada publik tentang program Kemdikbud secara jelas.

“Kolaborasi dengan pihak pemerintah daerah juga tidak ada. Padahal pendidikan itu kan diotonomikan. Jika tidak ada kolaborasi, hasilnya pasti akan kacau. Karena setiap orang menafsirkan sendiri kebijakan tersebut,” katanya.

Indra memberi nilai C+ untuk berpikir kritis bagi Nadiem, karena berani mengganti ujian nasional (UN) dan program Kampus Merdeka yang cukup baik. Akan tetapi target literasi, numerasi, dan sains jauh dari rata-rata OECD.

“Untuk sisi kreatif, nilai C untuk Nadiem karena tidak ada ide-ide baru yang segar. Semuanya biasa saja dan sudah pernah dibahas,” ucap Indra menandaskan.

Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim juga membahas buruknya komunikasi Nadiem dalam sosialisasi kebijakan Merdeka Belajar. Ia mencontohkan kebijakan Rencana Pelaksaan Pembelajaran (RPP) satu lembar.

“Kebijakan RPP diejawantahkan secara mentah-mentah oleh guru di lapangan. Pemahaman guru itu wajib satu lembar, maka hurufnya diperkecil dan kalimatnya dipotong-potong. Ini adalah kegagalan komunikasi antara Mendikbud dengan daerah,” ucapnya.

Satriwan menyarankan Nadiem segera melakukan intervensi agar kebijakan pusat sinkron dengan implementasi di daerah. “Mestinya ada intervensi dari negara. Jangan karena Kemdikbud sudah kasih Dana BOS, lalu lepas tanggung jawab,” kata Satriawan menandaskan. (***)