JAKARTA (Suara Karya): Konsorsium Pendidikan Indonesia (KoPI) yang beranggotakan 12 organisasi pendidikan di Indonesia mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) untuk menunda dulu pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Alasannya, pembahasan yang dilakukan secara tergesa-gesa atas sebuah produk hukum utama, yang akan jadi rujukan penting, akan berisiko menghasilkan produk hukum yang cacat proses dan kurang legitimasi masyarakat.
Dua belas organisasi pendidikan yang tergabung dalam KoPI, antara lain, Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdatul Ulama (LP Maarif NU), Majelis Pendidikan Kristen, Majelis Nasional Pendidikan Katolik, dan Perguruan Taman Siswa.
Selain itu, masih ada Forum Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan (FKLKP), Perkumpulan Perguruan Tinggi Kependidikan Negeri (PPTKN), Forum Penyelenggara Pendidikan Tenaga Kependidikan Swasta Indonesia, Forum Komunikasi Pimpinan FKIP Negeri Se-Indonesia, Forum Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Dalam siaran persnya, Kamis (24/2/22) KoPI membeberkan sejumlah alasan terkait perlunya penundaan pembahasan RUU Sisdiknas. Karena seharusnya tahapan RUU dibuat setelah peta jalan pendidikan nasional.
Pembahasan yang tergesa-gesa atas sebuah produk hukum utama, yang akan menjadi rujukan pentingn akan berisiko menghasilkan produk hukum yang cacat proses dan kurang legitimasi masyarakat.
“Apalagi jika RUU Sisdiknas itu dibuat tanpa menyepakati arah yang jelas akan di bawa ke mana pendidikan kita,” kata Ketua Umum PGRI, Unifah Rosyidi.
Pembahasan RUU Sisdiknas juga dilakukan tidak terbuka secara penuh, di mana setiap pemangku kepentingan tidak mendapat akses yang penuh terhadap dokumen. Waktu yang diberikan juga
terlalu singkat untuk mempelajari dan memberi umpan balik terhadap substansi dokumen sepenting itu.
KoPI juga menilai, kompleksitas pendidikan nasional, terutama terkait tata kelola guru sangatlah luas dan mendalam. Hal itu menjadi sangat riskan ketika dibahas dan diputuskan dalam waktu yang terlalu singkat.
“Tata kelola guru perlu pembahasan yang menyeluruh guna menyelaraskan berbagai peraturan yang ada. Karena guru adalah ujung tombak pendidikan, di mana porsi kontribusi guru terhadap mutu pendidikan melampaui kualitas luaran pendidikan,” kata Unifah menambahkan.
Menurutnya, tidak pernah terjadi kualitas pendidikan melampaui kualitas guru. Karena itu diperlukan landasan hukum yang jelas dan prioritas guna memastikan pengembangan kompetensi dan profesionalisme guru sudah sesuai.
Ditambahkab, ‘breeding’ guru pada pendidikan keguruan perlu dimulai dari sejak awal, tidak bisa dilakukan melalui ‘pembajakan’ di tengah jalan. Karena guru memerlukan internalisasi profesi yang baik dan dapat dipertanggungjawabkan sebelum memulai bertugas.
Si negara-negara maju, pendidikan keguruan harus berbasis universitas. Untuk itu Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) perlu senantiasa hadir dan dikembangkan untuk dapat menghasilkan porsi guru ‘concurrent’
yang lebih besar daripada sekedar model ‘consecutive’.
Pendidikan non formal dan informal sebagai pendidikan sepanjang hayat (life long learning) yang adaftif, up to date, fleksibel dan menjangkau di seluruh pelosok harus mendapat kesetaraan hukum dan kesempatan yang sama dalam sistem pendidikan nasional.
Pengembangan profesionalisme tenaga pendidik di sektor ity pun perlu juga mendapat perhatian. Undang-undang Sisdiknas merupakan hajat dan kepentingan bangsa dalam menunaikan UUD 1945, khususnya pada bagian pembukaan dan pasal 31. Karena itu perlu dibahas dengan cermat dan seksama.
“Jangan sampai ada hak warga negara dan kewajiban negara/pemerintah yang tidak tertunaikan terkait dengan pendidikan. UU Sisdiknas adalah payung hukum tertinggi pikiran normatif dan praktik pendidikan di wilayah yurisprudensi NKRI,” kata Unifah.
Karena itu, UU Sidiknas yang baru nantinya harus visioner, namun tidak meninggalkan sejarah dan praktik baik antropologi pendidikan masyarakat Indonesia. UU Sisdikbas yang baru tidak boleh dibangun seolah-olah Indonesia adalah ruang kosong yang bisa didirikan bangunan apa saja di atasnya.
UU Sisdiknas yang baru sebaiknya hanya mengatur tetang hal-hal pokok saja tentang pendidikan. Sedangkan hal-hal teknis operasional diatur pada tingkat perudangan di bawahnya, mulai dari peraturan pemerintah ke bawah.
Misalkan, tata kelola guru/dosen dan sebutan pendidikan/teaga kependidikan lainnya, tentang belajar jarak jauh, tentang pendidikan berbasis big-data, tentang pembiayaan pendidikan di tingkat pemerintah dan satuan, dan seterusnya.
Ketua Forum Pengelola Lembaga Kursus dan Pelatihan (FPLKP) Pendidikan Non Formal, HM Ali Badarudin juga menilai,
RUU Sisdiknas tepah mengebiri peran dan kesetaraan hukum jalur Pendidikan Non Formal (PNF).
“Padahal PNF sebagai pendidikan sepanjang hayat sudah terbukti sangat efektif melaksanakan fungsinya sebagai pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal. Karena, PNF sangat fleksibel, ‘multi entry multi exit’, adaptif, responsif dan kekinian yang relevan dengan konsep Merdeka Belajar,” ucap Ali Badarudin.
Vinsensius Darmin Mbula, OFM dari Majelis Nasional Pendidikan Katolik berpendapat, draf RUU Sisdiknas masih belum ramah terhadap sekolah swasta. Belum ada konsep yang utuh tentang peranan penting sekolah swasta untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Tolonglah dalam UU Sisdiknas yang baru nanti ada pasal khusus yang mengakui eksistensi sekolah swasta,” ucapnya. (Tri Wahyuni)