Disayangkan, 64 Persen PTS di DKI Belum Siap Gelar PTM

0

JAKARTA (Suara Karya): Sekitar 64 persen perguruan tinggi swasta di DKI Jakarta mengaku belum siap menggelar pembelajaran tatap muka (PTM) pada awal tahun 2022 ini. Kondisi ini tak boleh dibiarkan berlarut-larut, agar learning loss tak semakin parah di pendidikan tinggi.

“Anak SD saja sudah berani PTM, masak kita belum. Perguruan tinggi lebih tahu soal mitigasi, jadi seharusnya berani gelar PTM,” kata Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) Wilayah III, Kemdikbudristek, Paristiyanti Nurwardani di Jakarta, Jumat (21/1/22).

Paris menjelaskan, data 64 persen itu diperoleh dari hasil survei online yang dilakukan LLDikti terhadap 298 PTS yang ada di wilayah III DKI Jakarta. Hanya 86 PTS yang menjawab siap membuka PTM dalam waktu dekat.

“Memang ada beberapa syarat yang harus dipenuhi perguruan tinggi sebelum menjalankan PTM, antara lain, kampus harus memiliki satgas covid-19, menyediakan fasilitas untuk penerapan protokol kesehatan, terkoneksi aplikasi peduli lindungi dan berkoordinasi dinas kesehatan,” tuturnya.

LLDikti akan melakukan berbagai upaya guna mendorong PTS segera membuka PTM. Hal itu semata demi kompetensi sosial mahasiswa dan mengurangi terjadinya learning loss di pendidikan tinggi selama pandemi covid-19.

“Tujuan pendidikan itu menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, cerdas, berilmu dan berbakti kepada bangsa dan negara. Dari semua tujian itu, hanya satu yang hard skill yaitu berilmu, sisanya adalah soft skill,” tuturnya.

Dengan dibukanya kembali PTM, menurut Paris, maka tercipta komunikasi tatap muka antara mahasiswa dengan sivitas akademika lingkungan kampusnya.

“Saya khawatir, mahasiswa tak lagi respek terhadap dosennya, akibat jarang bertemu. Kompetensi sosial itu juga penting bagi mahasiswa agar mampu bersaing di dunia kerja,” ujar Paris.

Selain itu, dalam Profil Pelajar Pancasila disebutkan salah satunya gotong royong dengan kebinekaan. Target itu sulit dicapai jika kuliah daring. Profil beriman dan berakhlak mulia, mungkin bisa dilakukan dengan orangtua. Tetapi capaian itu baru teruji jika berhubungan dengan orang lain.

“Begitu pun dengan jiwa kreatif, dimana ada persoalan bersama dan penyelesaian bersama. Semua itu baru bisa dilakukan jika ada teman. Pertemuan itu juga bisa mengasal critical thinking mahasiswa.

“Kreativitas juga bisa dibangun lewat kolaborasi antarteman, lewat kegiatan ‘project’ bersama. Soft skill terkait kreativitas tidak akan optimal, jika dilakukan secara daring,” ujarnya.

Mahasiswa juga diajarkan tentang kebinekaan global. Mereka harus ke kampus agar bisa praktik toleransi dan empati. Jika di rumah saja, kondisinya relatif homogen.

Untuk hard skill, di kampus terdapat fasilitas untuk pembelajaran kolaboratif. Hardskill dan softkill akan jauh lebih tercapai ‘learning outcome’-nya ketika mahasiswa belajar di kampus.

“Saya ingin membantu agar learning loss tidak diperpanjang lagi, lantaran kampus tidak berani mengambil risiko. Apalagi, hampir sebagian besar masyarakat sudah terbiasa dengan ‘new normal’, seperti tak lupa pakai masker kemana pun, tak suka ada di kerumunan, menjaga jarak dengan orang lain dan rajin menjaga kebersihan,” tuturnya.

Untuk itu, Paris menambahkan, pihaknya akan lebih giat sosialisasi baik secara luring, maupun daring yang mendorong kampus menggelar PTM. Diharapkan pada semester genap yang dimulai Februari, semakin banyak kampus yang menyatakan siap untuk PTM.

“Masih ada satu bulan untuk sosialisasi ke kampus-kampus, terkait kendala belum bisa PTM. Kami akan bantu mencari solusinya. Semoga target ini bisa tercapai dalam satu bulan kedepan,” kata Paris menegaskan. (Tri Wahyuni)