
JAKARTA (Suara Karya): Universitas Pertamina bersama Pertamina Foundation, Hope Indonesia dan Yayasan Dian Sastrowardoyo membentuk Ekspedisi Seroja guna membantu warga korban bencana di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Ekspedisi tersebut tak hanya memberi bantuan pangan dan obat-obatan, tapi juga menggelar ‘trauma healing’ bagi anak-anak korban bencana.
“Trauma healing perlu guna mempercepat pemulihan dan menurunkan risiko anak mengalami masalah yang lebih berat di masa depan,” kata Sekretaris Universitas Pertamina, Roby Hervindo di Waingapu, Sumba Timur, Minggu (11/4/2021).
Seperti diberitakan, bencana alam berupa curah hujan tinggi dan badai siklon Seroja telah memporakporandakan Sumba Timur pada 6 April 2021 lalu. Kota Waingapu lumpuh karena ketersediaan listrik dan telekomunikasi selama lebih dari sepekan.
Sebagian warga hingga kini masih tinggal di pengungsian, pasalnya kediaman mereka hancur diterjang banjir. Bupati Sumba Timur, Kristofel Praing telah menetapkan wilayahnya dengan status darurat bencana alam hingga 15 April 2021.
Roby menyebut pentingnya trauma healing bagi anak merujuk pada laporan ‘World Risk Report’ 2018 bahwa orang tua dan anak merupakan kelompok rentan saat terjadi bencana, terutama di negara-negara berkembang. PBB mengestimasi sekitar 100 juta anak di seluruh dunia menjadi korban bencana setiap tahun.
Penelitian badan kesehatan dunia WHO juga menunjukkan hal serupa. Dampak psikologis pada penyintas (survivor) bencana, antara lain rasa kehilangan, marah, takut dan merasa bersalah. Pada sebagian korban, reaksi psikologis lebih berat seperti stress, depresi, pikiran bunuh diri dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang.
Kegiatan trauma healing yang digelar Ekspedisi Seroja ikuti 120 anak usia 5 hingga 12 tahun di Kampung Ranu, Kelurahan Mauliru, Waingapu. Kampung Ranu berlokasi di hilir sungai, sehingga kerusakan cukup hebat. Banyak rumah, perkebunan dan ternak warga musnah diterjang banjir.
Tim Ekspedisi Seroja dan relawan mengajak anak-anak berkegiatan seni dan permainan, seperti bermain bola, bernyanyi dengan alat musik dan permainan kelompok serta individu. Kepada anak-anak juga dibagikan paket-paket makanan kecil.
“Kami berencana melanjutkan ‘trauma healing’ ke anak-anak penyintas lain. Ada sekitar 30 orang di posko relawan, yang akan membantu penggalangan dan penyaluran bantuan kepada masyarakat,” ujarnya.
Rambu Esti Praing, relawan bencana dari Sanggar Katalaha Hamolingu dan Gereja Kristen Sumba (GKS) Sumamapu menceritakan kondisi anak-anak penyintas. “Pascabencana banjir dan badai, anak-anak merasa ketakutan dan selalu cemas. Mereka selalu berdekatan dengan orang tuanya, takut bencana akan terjadi lagi,” tuturnya.
Ditambahkan, sebelum paskah, anak-anak sering bermain bersama. Tapi sejak bencana, mereka hanya di rumah saja karena takut. “Ketika ada kakak-kakak relawan dari Universitas Pertamina datang, anak-anak senang bisa bermain bersama,” kata Rambu.
Salah seorang anak Kampung Ranu, Maikal (8) merasa senang dengan kegiatan yang dilaksanakan tim Ekspedisi Seroja. Ia bersama teman-temannya ceria dan antusias mengikuti beragam permainan. Orangtua ikut mendampingi anak-anak dalam ‘trauma healing’. (Tri Wahyuni)