JAKARTA (Suara Karya): Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) saat ini genap berusia 6 tahun. Di usia yang relatif muda, organisasi nirlaba ini terus menunjukan komitmennya untuk berkontribusi menyumbangkan pemikiran dan gagasan kepada bangsa dan negara mengenai kedaulatan dan ketahanan energi nasional.
Berbagai diskusi yang menghasilkan buah pemikiran cemerlang, dengan berbagai nara sumber yang berkompeten dibidangnya terus dilakukan. Hasilnmya, pengembangan energi baru terbarukan (EBT) harus terus dikembangkan sehingga ketergantungan kepada sumber energi fosil bisa terus dikikis.
Chair person Purnomo Yusgiantoro Center (PYC) Filda C. Yusgiantoro, pentingnya pengembangan sektor energi dengan memperhatikan transisi energi ke energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Kemudian, di tengah transisi energi yang semakin masif, sektor fosil tetap dapat berkontribusi untuk ketahanan energi dan keberlanjutan, yaitu dengan melakukan diversifikasi portofolio bisnis melalui pengembangan EBT, integrasi dengan industri petrokimia, dan mengutamakan aspek ESG dalam keberlangsungan bisnis.
“Jadi pemikiran tentang pengembangan energi itu tidak boleh hilang, karena dunia sekarang sudah banyak beralih kepada energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Indonesia juga harus mengikuti,’ kata Filda, saat memberikan sambutan peluncuran laporan dari International Energy Conference (IEC) yang ditayangkan secara langsung pada saluran YouTube PYC, Jumat (17/6/2022).
Pada kesempatan yang sama, Manajer Departemen Renewable Energy and Energy Efficiency ASEAN Centre for Energy Septia Buntara Supendi, dalam paparannya menyampaikan bahwa ketahanan energi dapat dikategorikan menjadi 2 kelompok utama, yaitu Resource Security dan Power Security.
Menurutnya, isu-isu ini perlu ditangani secara bersama dan kolektif dari beberapa stakeholder. MKarena itu, kunci untuk meningkatkan ketahanan energi adalah memperkuat kolaborasi antar negara anggota ASEAN dan memperkaya wawasan mengenai EBT melalui riset dan pengembangan.
Kedua strategi tersebut diharapkan mampu meningkatkan kemampuan Indonesia, sebagai negara dengan pengaruh yang sangat besar terhadap bauran energi di Asia Tenggara, untuk melibatkan lebih banyak sumber energi terbarukan pada bauran energi.”
Sementara itu, peneliti PYC I Dewa Made Raditya Margenta memaparkan tentang pentingnya peranan energi fosil, ketenagalistrikan, dan pengembangan EBT dalam transisi energi, mewujudkan skenario Net Zero Emission, dan memperkuat ketahanan energi nasional. Pendekatan yang dilakukan oleh PYC adalah pendekatan 4A, yaitu, Availability, Accessibility, Affordability, dan Acceptability. Dengan terpenuhinya keempat aspek tersebut, maka suatu negara akan mandiri secara energi.
Di sisi lain, pencapaian ketahanan energi nasional haruslah selaras dengan program pemerintah, salah satunya dalam mitigasi krisis iklim. Secara umum, strategi optimalisasi dari Pengembangan dan Penggunaan EBT difokuskan terhadap tiga aspek berikut: teknologi, kebijakan, dan pembiayaan.
Dalam acar tersebut, Dosen ITB Widhyawan Prawiraatmadja juga memberikan tanggapannya. Dia menyampaikan bahwa disrupsi energi global sudah terjadi dan mengganggu transisi energi secara masif. Beberapa strategi dan kebijakan harus diarahkan untuk mengatasi kebijakan dekarbonisasi ini.
Beberapa strategi pada sektor energi yang disampaikan oleh Widhyawan adalah untuk fokus kepada dekarbonisasi sektor energi, moratorium batubara, dan meningkatkan sumber energi terbarukan. Untuk sektor transportasi, masyarakat perlu beralih ke moda transportasi massal dan meningkatkan penggunaan biofuel dan EV. Dalam segi industri, batu bara digantikan oleh gas dan biomass, juga dengan melakukan efisiensi penggunaan listrik.
Energy Policy Associate dari International Institute for Sustainable Development Anissa Suharsono, menyampaikan bottleneck daripada transisi energi berada pada sisi kebijakan. Kebijakan tersebut belum mampu untuk membangun iklim kondusif untuk investasi energi terbarukan dalam jangka panjang. Hal ini membuat dunia memiliki ketergantungan terhadap bahan bakar fosil ketika terjadi disrupsi energi.
Ditumpangi dengan masalah affordability, apakah subsidi bahan bakar fosil bagi rakyat ketika terjadi disrupsi energi merupakan strategi yang tepat? Nyatanya, banyak subsidi yang tidak tepat sasaran dan tidak begitu berdampak terhadap tingkat keterjangkauan energi masyarakat. Sependapat dengan Widhyawan, Anissa juga menyatakan bahwa strategi yang harus diterapkan adalah mengurangi secara bertahap penggunaan batu bara dan subsidi dari bahan bakar fosil dan menetapkan roadmap yang jelas untuk rencana transisi energi ke depannya. (Bayu)