Suara Karya

Gagal Bedakan Fakta atau Fiksi, Pembaca Berhadapan dengan Realitas “Blur”

JAKARTA (Suara Karya): Tsunami informasi yang menderas dalam kehidupan sehari-hari, telah menyebabkan banyak orang gagal membedakan mana fakta dan mana fiksi. Kegagalan itu sering kali menimbulkan kegaduhan sehingga berimbas pada realitas sosial yang serba timpang. Bahkan kegagalan itu telah menyebabkan banyak dari kita menerima fakta sebagai fiksi dan sebaliknya fiksi sebagai fakta.

Hal itu terungkap dalam Sadaring SATUPENA #01, yang dihelat secara daring, pada Minggu (15/8/2021).

Sadaring atau sarasehan dalam jaringan seri pertama dari SATUPENA ini menampilkan pembicara Salman Aristo (produser dan sutradara film), Hikmat Darmawan (kritikus film dan komik), dan Deasy Tirayoh (penulis skenario film dan cerpen). Sadaring yang dipandu oleh penyair Ni Made Purnama Sari ini, diikuti para peserta dari berbagai daearah di Indonesia, termasuk peserta dari Belanda.

Sadaring bertema “Mana Fakta Mana Fiksi, Kini dan Nanti”, kata Koordinator Ketua Presidium Satupena S Margana, sengaja dihelat pertama kali untuk merespons kondisi yang serba “blur” dalam kenyataan kita sehari-hari. Banyak berita yang disisipi oleh berbagai kepentingan kelompok perorangan.

“Kita tidak bisa lagi membedakan mana fakta, data, dan opini pribadi. Sebagai penulis, apalagi jurnalis, kita bertanggung jawab terhadap ini,” kata Margana.

Jika sejak memasuki fase produksi saja, fakta-fakta sudah bias, kata Margana, maka bisa dibayangkan seperti apa informasi yang sampai kepada pembaca. Dalam era tsunami informasi seperti sekarang ini, katanya, setidaknya para penulis dan jurnalis taat azas pada fakta dan data. “Itu saja sudah cukup, jangan turut mengaburkan semuanya,” tambahnya.

Kegagalan kategori

Hikmat Darmawan mengatakan era post truth antara lain ditandai dengan kegagalan manusia membuat kategorisasi mana fakta dan mana fiksi. Kegagalan itu pertama-tama disebabkan oleh membanjirnya informasi lewat media sosial.

“Kita sering kali melakukan click monkey, terusin saja ke orang lain tanpa pernah mengkritisi apa yang sedang kita bagikan,” katanya. Click monkey atau mengklik tanpa membaca sebuah informasi, sebenarnya telah turut serta membuat banjir informasi dewasa ini serta serba kebingungan yang mendera publik kita.

Sebenarnya, kata Hikmat, cara-cara ini telah membuat kita semakin bingung menentukan mana realitas faktual dan mana realitas fiksional. Saking banyaknya fakta-fakta yang bias opini, maka justru terkadang fiksilah yang menjadi harapan dalam memberoleh kebenaran.

“Walau dalam fiksi bukan kebenaran objektif dan absolut yang kita peroleh, tetapi kebenaran sementara sebelum kita menemukan kebenaran yang lebih hakiki,” ujar pendiri Persatuan Penulis Indonesia SATUPENA ini. Oleh sebab itulah pernyataan penyair Muhammad Iqbal, bahwa fiksi adalah dusta yang kudus seolah menemukan kebenarannya.

Menurut Salman Aristo, dualitas antara fakta dan fiksi dalam era ini menjadi blur karena ketiadaan fondasi dan prinsip-prinsip berpikir secara kritis sedari dini. Ia misalnya mengatakan, mengapa buku bagus karya Moh. Hatta seperti Pengantar ke Alam Ilmu Pengetahuan, tidak dijadikan buku wajib sejak sekolah dasar. Buku ini mengajarkan prinsip-prinsip dasar berpikir kritis yang kelak akan berguna untuk memindai realitas.

“Jadi kekaburan itu sudah terjadi sejak dini, sehingga sekarang kita hanya menuai saja. Tidak bisa menyalahkan generasi sekarang yang kita anggap tidak kritis, tetapi pernahkah kita mengajarkan kekritisan cara berpikir itu?” katanya.

Dalam kondisi seperti ini, tambah Salman, memegang prinsip dasar jurnalisme seperti skeptis sangat diperlukan. “Kita harus skeptis terhadap apa yang kita baca, tidak berhenti bertanya apakah ini benar atau tidak,” ujar Salman.

Sementara itu, sebagai seorang penulis Deasy Tirayoh sering kali dihadapkan pada ukuran keberhasilan kerja industri televisi seperti rating. Sebagai penulis, prinsip kerjanya sering kali malah berbenturan. “Saya selalu diminta untuk mencari sisi gosip dari seorang tokoh misalnya dengan mengabaikan apa yang sedang dia lakukan,” katanya.

Pesanan semacam itu membuatnya mempertanyakan tugasnya sebagai seorang penulis yang memiliki tanggung jawab mempertahankan idealisme.

Biasanya, kata Deasy, ia menggunakan fiksi sebagai jalan keluar. “Menulis fiksi adalah jalan keluar dari kebimbangan dalam kerja melayani industri,” kata Daesy. Dalam fiksi yang ia tulis, senantiasa terdapat fakta-fakta yang ia olah untuk kemudian disajikan sebagai suguhan yang menghibur. Jadi pada fiksi pun akhirnya, kata Deasy, ia menyuguhkan fakta-fakta yang ia tidak mungkin sajikan dalam proses kerja industrial.

Hikmat mengatakan pada era post truth tidak mungkin lagi mengharapkan kebenaran objektif, tetapi kita memiliki kebenaran-kebenaran kemanusiaan dan kebenaran etis.

“Kebenaran kemanusiaan dan kebenaran etis itu justru kita temukan pada genre tulisan bernama fiksi,” kata Hikmat.

Karakter fiksi yang menyajikan hiburan membuatnya menjadi lebih lentur dan menyajikan kebenaran secara lebih utuh. Sementara fakta-fakta menjadi kian miskin, karena berbagai bias kepentingan, termasuk oleh kepentingan para penulisnya ketika ia diproduksi di dalam kepalanya.

Dalam Sadaring SATUPENA #01 ini, penulis asal Malang Ari Ambarwati membacakan tiga buah puisi yang terangkum dalam antologi Bocah Rempah. Antologi ini, kata Ari, akan dicetak dan diedarkan dalam waktu dekat. Ari mencoba menautkan antara sejarah dan jenis rempah dengan kehidupan anak-anak pada era post truth. “Semoga varian pelajaran tentang rempah bisa dilakukan lewat sastra,” katanya. (Pramuji)

Related posts