
Oleh: Kentos Artoko
Debat pasangan calon presiden dan wakil presiden RI yang I telah dilakukan kemarin (17/1/2019). Acara itu telah dikomentari oleh sejumlah pemerhati politik dan ekonomi yang berada dibelakang kedua kubu, baik pasangan petahana Presiden Jokowi-Ma’ruf Amin serta Prabowo-Sandiaga Uno.
Tentu saja analisis yang disajikan bersandar pada ‘siapa yang membayar’ dan ‘keberpihakan kepada siapa’. Namun, ada beberapa hal yang luput dari pantauan yaitu luluh lantaknya teori-teori komunikasi politik yang selama ini digelontorkan oleh kubu Prabowo-Sandi hanya dengan ketenangan dan pemaparan kondisi yang sebenarnya terjadi dengan data dan fakta (factual base analysis).
Sebagai contoh, pemirsa debat bisa menyaksikan langsung ‘peluru’ yang dilontarkan oleh kubu Prabowo-Sandi soal penanganan kasus hukum yang tumpul dan berat sebelah, tidak pro-gender (kasus Ratna Sarumpaet) bisa diantisipasi langsung dengan pernyataan petahana bahwa kubu Prabowo sudah berupaya untuk menggalang opini negatif terhadap penegak hukum yang tidak bekerja dengan sigap dan membiarkan penganiayaan terhadap seorang wanita, kenyataannya aparat Kepolisian berhasil mengungkap bahwa bonyoknya muka Ratna bukan karena dianiaya tapi akibat operasi plastik.
Ujaran demi ujaran yang tidak berdasarkan fakta ini, kerap dilakukan oleh Prabowo dengan tujuan untuk memengaruhi opini publik agar kontra terhadap pemerintah umumnya dan Presiden Jokowi khususnya. Dalam literasi komunikasi politik, praktik ini dikenal dengan penerapan pola propaganda (Nimmo, 1993).
Hal itu akan berjalan dengan baik, sebelum adanya kemudahan dalam bidang teknologi dan informasi. Saat ini, berita bohong (hoax) yang dilontarkan oleh kubu, kalangan atau tokoh politik dapat dengan mudah dinetralisir melalui media sosial. Untuk menangkal berita buruk itu diperlukan fakta dan data yang akurat, kemudian menyajikannya dalam media sosial dan biarkan masyarakat untuk merenung dan berpikir mana yang benar.
Bila ujaran yang dilontarkan benar, maka image positif segera tertanam didalam benak masyarakat, tapi bila sebaliknya akan memberikan pukulan dan dampak yang jauh lebih menyakitkan kepada si penyampai ujaran. Sebab dalam benak masyarakat akan tertanam dua dampak sekaligus yaitu tokoh pembohong dan tidak layak dipercaya.
Akibat lainnya, masyarakat akan terbiasa untuk melakukan check dan recheck saat tokoh pembuat ujaran kebencian berpidato. Banyak contoh untuk masalah ini mulai dari ‘tampang Boyolali’, ‘Tukang Ojek’, ‘Sragen Kurang Air’, ‘Gaji Dokter lebih sedikit dari tukang parkir’ dan terakhir ‘Pulau Jawa Lebih kecil dari Malaysia’.
Hal itupun kembali berulang, ketika debat berlangsung, dimana Prabowo menyatakan bahwa Presdien adalah ‘Chief of Law Enforcement’, kondisi ekonomi Indonesia yang terus memburuk, gaji pegawai negeri yang kurang dan masih banyak lagi ujaran yang disampaikan tanpa fakta dan data.
Tentu saja lontaran ‘peluru’ yang disampaikan oleh Prabowo ini dapat dengan mudah untuk dipatahkan oleh Presdien Jokowi karena data dan faktanya bahwa ekonomi Indonesia menjadi yang terunggul di Asia Tenggara, gaji pegawai negeri yang terus meningkat tiap tahunnya dan meningkatnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap hukum.
Konsultan politik kelas dunia seperti Rob Allyn pun seperti tak berkutik menghadapi kekuatan Presiden Jokowi dan relawannya, pemutar balikan fakta yang pernah dilakukan untuk memenangkan George W. Bush (AS) dan Vincente Fox (Meksiko) seperti tak bernas di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa masyarkat Indonesia jauh lebih dewasa, ketimbang warga AS dan Meksiko yang mudah dipengaruhi melalui media sosial dan ujaran kebencian.
Praktik penggunaan teknik propaganda pun seakan tumpul bagi masyarakat Indonesia kerap melihat fakta sebelum mempercayai sebuah berita atau suatu ujaran yang belum tentu valid atau sangat jauh dari kenyataan yang terjadi. Gaya kepemimpinan yang dynamic otoritarians pun tidak cocok bagi masyarakat Indonesia saat ini.
Gaya kepemimpinan dynamic otoritarians telah menjadi masa lalu dan sejarah ketika sebagian besar negara masih berjuang untuk memerdekakan bangsanya dari jerat penjajahan. Kepemimpinan yang meledak-ledak seperti Soekarno, Hitler, Mussolini, Hugo Chavez dan pemimpin lainnya tinggal menjadi sejarah dalam bingkai tinta emas yang sesekali dapat dijadikan input dalam dunia akademis.
Untuk saat ini Indonesia membutuhkan pemimpin yang cerdas, sederhana, gila kerja. #01untukIndonesiaMaju