JAKARTA (Suara Karya): Kementerian Kesehatan (Kemkes) menggandeng komunitas dan lintas sektor dalam menyusun agenda untuk mencegah krisis polusi udara di perkotaan Indonesia.
“Polusi udara adalah masalah lingkungan yang berdampak pada kesehatan manusia,” kata Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Sadikin Gunadi dalam siaran pers, Selasa (4/4/23).
Mengutip data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators, ada lima penyakit respirasi yang menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia. Lima penyakit itu adalah paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, tuberkulosis dan asma.
Ditambahkan, PPOK memiliki 209 kejadian dengan 3,2 juta kematian, pneumonia 6.300 kejadian dengan 2,6 juta kematian, kanker paru 29 kejadian dengan 1,8 juta kematian, tuberkulosis 109 kejadian dengan 1,2 juta kematian, dan asma 477 kejadian dengan 455 ribu kematian.
Di Indonesia, 10 penyakit dengan kasus terbanyak per 100.000 penduduk, 4 diantaranya merupakan penyakit respirasi, yaitu PPOK 145 kejadian dengan 78,3 ribu kematian, kanker paru 18 kejadian dengan 28,6 ribu kematian, pneumonia 5.900 kejadian dengan 52,5 ribu kematian, dan asma 504 kejadian dengan 27,6 ribu kematian.
Tak hanya berdampak pada kesehatan masyarakat, penyakit respirasi juga memberi tekanan pada anggaran BPJS Kesehatan. Faktor risiko polusi udara atas penyakit respirasi pun cukup tinggi.
PPOK memiliki risiko 36,6 persen, pneumonia 32 persen, asma 27,95 persen, kanker paru 12,5 peraen, dan tuberkulosis 12,2 persen.
Menurut data BPJS Kesehatan, selama periode 2018-2022, anggaran yang ditanggung untuk penyakit respirasi mencapai angka yang signifikan dan memiliki kecenderungan meningkat setiap tahunnya.
Pneumonia menelan biaya Rp8,7 triliun, tuberkulosis Rp5,2 triliun, PPOK Rp1,8 triliun, asma Rp1,4 triliun, dan kanker paru Rp766 miliar.
Untuk itu, Menkes menegaskan,
pemerintah akan mendorong upaya promotif preventif guna mencegah masyarakat mengalami dampak dari polusi udara.
Ada 4 faktor risiko penyakit paru, yaitu polusi udara, riwayat merokok, infeksi berulang dan genetik. Dari jumlah itu, polusi udara menyumbang 15-30 persen dari total kejadian.
“Upaya yang perlu dilakukan adalah lintas sektor. Karena polusi udara terkait masalah lingkungan dan kita ada di dalamnya. Karena itu, penanganannya harus dilakukan bersama, termasuk bareng komunitas,” ucapnya.
Karena udara yang bersih dibutuhkan anak-anak sebagai pemimpin masa depan. Anak akan berkembang secara optimal jika udara yang dihirup segar dan sehat.
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia sekaligus Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Agus Dwi Susanto menekankan pentingnya upaya pencegahan dalam mengatasi masalah polusi udara.
“Polusi udara terbukti menimbulkan masalah respirasi dan pernapasan. Dibutuhkan keterlibatan semua pihak untuk menurunkan kasus respirasi di Indonesia,” katanya.
Menghadapi situasi itu, co-Founder Bicara Udara, Novita Natalia mengatakan, masalah polusi udara tidak bisa ditangani 1-2 pihak saja, tetapi butuh kerja sama dari semua elemen, termasuk masyarakat.
“Kondisi udara saat ini menjadi panggilan bagi kita semua untuk meningkatkan kesadaran tentang pentingnya udara bersih. Sinergi pemerintah, masyarakat dan berbagai pihak menjadi kunci dalam menciptakan udara bersih dan kehidupan yang lebih sehat,” kata Novita.
Dalam menciptakan perubahan nyata, Bicara Udara mengajak seluruh elemen masyarakat untuk menyuarakan hak atas udara bersih dengan mempengaruhi kebijakan serta upaya penegakan di Indonesia. (Tri Wahyuni)