
JAKARTA (Suara Karya): Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) mengaku kecewa terhadap pemerintah yang akan menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35 persen pada 2020. Karena keputusan itu tak pernah dikomunikasikan dengan asosiasi perusahaan rokok.
“Padahal dalam Undang-Undang (UU) No 39 Tahun 2007 tentang cukai, pada pasal 5 ayat 4 tertulis penentuan besaran target penerimaan negara dari cukai di RAPBN harus memperhatikan kondisi industri dan aspirasi pelaku usaha,” kata Ketua Gappri, Henry Najoan kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (18/9/2019).
Hadir dalam kesempatan itu, Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Kota Surabaya, Sulami Bahar dan Gapero Kota Malang, Adi Harnadi.
Henry Najoan menjelaskan, kenaikan cukai rokok sebesar 23 persen akan menimbulkan gangguan pada ekosistem pasar rokok. Karena terjadi penirunan pada penyerapan tembakau dan cengkeh hingga 30 persen. Dampak akhirnya adalah rasionalisasi karyawan di pabrik.
“Jika kebijakan itu diterapkan maka terjadi penurunan volume produksi rokok hingga 15 persen pada 2020. Padahal, pemerintah menargetkan penerimaan cukai dalam RAPBN 2020 naik sebesar 9,5 persen,” ujarnya.
Naiknya cukai rokok juga diyakini Henry Najoan berdampak pada meningkatnya rokok ilegal, yang dalam dua tahun ini jumlahnya terus menurun. Pada 2018 terjadi penurunan 5 persen dibanding 2017 dari 12 persen menjadi 7 persen. Pada 2019, angkanya bahkan menurun hingga 3 persen.
“Jika kebijakan itu diterapkan, peredaran rokok ilegal akan menggila. Karena orang mencari rokok murah. Kalau kondisinya sudah seperti itu, maka industri rokok luar negeri yang berjaya. Sementara kita mati pelan-pelan,” tutur Henry.
Keberadaan rokok ilegal bisa ditekan, menurut Henry, salah satunya lewat kebijakan kenaikan cukai dan HJE yang moderat yaitu sekitar 10 persen. Apalagi jika merujuk pada kondisi industri hasil tembakau saat ini yang mengalami tren negatif, produksi semester 1 tahu 2019 turun 8,6 persen secara year on year (yoy).
“Kenaikan cukai rokok itu hal wajar, tetapi angkanya harus moderat dong. Dibuat mendekati angka inflasi 3,2 persen atau pertumbuhan ekonomi 5 persen. Begitupun pada HJE yang diusulkan sebesar 10 persen. Jika terlalu tinggi, harga rokok terlalu mahal. Padahal daya beli masyarakat masih lemah,” katanya.
Henry berharap pemerintah meninjau ulang rencana kenaikan itu. Besaran angka kenaikan cukai dan HJE harus dibuat semoderat mungkin, agar industri rokok Tanah Air bisa bertahan. “Ini penting. Karena pemerintah sendiri menargetkan penerimaan cukai dalam RAPBN 2020 naik sebesar 9,5 persen,” katanya.
Hal senada dikatakan Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Kota Surabaya, Sulami Bahar. Kenaikan cukai rokok pada 2020 diluar dugaan pelaku industri rokok. Pasalnya, selama ini kenaikan cukai rokok rata-rata sekitar 10 persen.
“Jika ingin mematikan industri rokok, apakah pemerintah ini sudah ada sumber pengganti pemasukan anggaran. Jika industri rokok dalam negeri tak ada lagi, apa ada jaminan kesehatan masyarakat dan polusi udara akan lebih baik,” kata Sulami mempertanyakan.
Seperti diketahui, industri hasil tembakau (IHT) di Indonesia hingga saat ini memberi kontribusi sebesar 10 persen dari APBN atau sekitar Rp 200 triliun. IHT ini juga menyerap lapangan kerja bagi sekitar 7,1 juta jiwa yang meliputi petani, buruh, pedagang eceran, dan industri terkait.
Gappri sendiri merupakan asosiasi yang mewakili pabrikan kretek, yang merupakan produk khas Indonesia. Anggota Gappri pada semua jenis yang meliputi golongan 1, 2 dan 3 dengan jumlah pabrik mencapai 454 unit. Gappri memiliki pangsa pasar 70 persen dari industri hasil tembakau di Indonesia. (Tri Wahyuni)