Suara Karya

GP Farmasi: Ketersediaan Obat dalam JKN Perlu Diatur

Foto: (Suarakarya.co.id/Istimewa)

JAKARTA (Suara Karya): Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) menilai perlu peraturan yang menjamin ketersediaan obat dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Karena obat merupakan komponen penting dalam layanan kesehatan.

“Ketersediaan obat perlu diatur khusus demi keberlangsungan program JKN. Karena sakit bisa terjadi tiba-tiba,” kata Ketua Bidang Industri GP Farmasi, Roy Lembong dalam seminar ‘Pembiayaan Berkelanjutan untuk JKN Menuju Pelayanan Kesehatan Semesta di Indonesia di Jakarta, Kamis (17/1/2019) petang.

Untuk itu, lanjut Roy Lembong, upaya yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki isi dari Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) yang dipergunakan rumah sakit dalam mengobati pasien. Jatah obat dalam INA-CBGs masih terlalu rendah.

“Kami ingin jatah pembayaran obat dari BPJS Kesehatan ke fasilitas kesehatan dialokasikan minimal 25 persen. Nilai yang ada saat ini terlalu rendah. Selain itu, kami juga berharap co-payment diperbolehkan,” tuturnya.

Roy menambahkan, GP Farmasi saat ini telah men-supply sekitat 90 persen kebutuhan obat dalam negeri, yang mana 52 persen diantaranya adalah obat generik berkualitas. Kualitas obat yang diproduksi GP Farmasi memiliki standar dan kualitas tinggi.

Hal senada dikemukakan Ketua Bidang Distribusi GP Farmasi, Hery Sutanto. Meski selama ini BPJS Kesehatan telah mengeluarkan pembayaran, namun dana yang sampai ke penyedia obat terbilang sangat kecil.

“Dana dari pemerintah untuk pembayaran klaim BPJS Kesehatan memang sudah cair, tetapi yang sampai ke kami disayangkan kecil sekali. Ibarat air hanya menetes. Angkanya sekitar 6 persen,” katanya.

Padahal, lanjut Hery, permintaan obat-obatan dari rumah sakit sepanjang Agustus hingga Desember 2018 lalu tak pernah berhenti. “Permintaan ini tak mungkin dihentikan. Pasti ramai. Karena stok obat di rumah sakit kosong. Kami harap pemerintah memberi solusi, dengan alokasi 25 persen dari total anggaran yang digelontorkan BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Menurut Hery, Pedagang Besar Farmasi (PBF) memiliki tantangan yang cukup besar dalam program JKN, yaitu turunnya profitabilitas perusahaan distribusi dari tahun ke tahun. Penurunan itu terjadi karena bisnis di era JKN berbiaya tinggi.

“Jika boleh milih, kami lebih suka bisnis secara reguler dengan swasta. Mereka bayar lebih cepat. Sementara obat yang kami jual ke rumah sakit pemerintah butuh waktu untuk pembayaran. Perputaran uangnya jadi lama. Tidak menguntungkan dari sisi bisnis,” tuturnya.

Ditambahkan, GP Farmasi juga meminta agar pembebanan biaya kesehatan dialokasikan lebih proporsional baik di pemerintah, swasta dan masyarakat seperti dilakukan negara-negara lainnya. Upaya promotif preventif dalam bentuk pembaharuan peraturan perlu dilakukan guna mengurangi beban kuratif dalam JKN.

Sementara itu, Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan, Engko Sosialine mengatakan, saat ini pihaknya tengah fokus pada 3 hal. Disebutkan, rencana kebutuhan obat (RKO), menjamin ketersediaan obat dan pengadaan obat.

“Untuk RKO memang perlu ada perbaikan akurasi. Karena RKO yang diserahkan kadang tak sesuai dan akurat. Misalkan, RKO pasa 2014 besarannya kurang 20 persen, sedangkan RKO pada 2018 malah lebih 20 persen.

“Data RKO saat ini sudah menggunakan data yang terhubung secara online. Jadi akurasinya lebih bagus,” katanya.

Kami sudah menggunakan data, dan data yang bisa digunakan tentang peningkatan sudah dihubungkan secara elektronik dan akurasinya bagus,” kata dia.

Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla pada sambutannya meminta BPJS Kesehatan untuk ikut melakukan program promotif preventif terkait pentingnya menjaga kesehatan seperti makan makanan bergizi dan memulai kebiasaan olahraga.

“Meningkatnya orang berobat ke faskes akan membebani keuangan pemerintah. Untuk itu, pentingnya upaya preventif dan promotif agar masyarakat Indonesia semakin sehat,” kata Jusuf Kalla menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts