Suara Karya

Hanafi Rais: Penuntasan Kasus HAM Jadi Beban Pemerintah Selanjutnya

JAKARTA (Suara Karya): Penanganan sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu, dinilai masih menjadi ‘PR’ besar yang harus dituntaskan oleh Joko Widodo di sisa pemerintahannya saat ini. Bila tidak, maka hal itu akan menjadi beban bagi pemimpin selanjutnya.

Demikian dikemukakan Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Hanafi Rais, dalam keterangan tertulisnya, kepada Suara Karya, Senin (10/12/2018).

Dia mengatakan hal itu, dalam rangka peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) yang jatuh pada hari ini (10 Desember). Menurut Mas Han, demikian sapaan akrab Hanafi Rais, bila Indonesia ingin maju, maka kasus-kasus masa lalu harus segera diusut tuntas dan dibawa ke meja hukum agar dapat segera dilakukan rekonsiliasi untuk bersama membangun bangsa.

“Demi rasa kemanusiaan bila Indonesia ingin maju, maka kasus-kasus masa lalu harus segera diusut tuntas dan dibawa ke meja hukum agar dapat segera dilakukan rekonsiliasi untuk bersama membangun bangsa. Bila periode ini tidak tuntas, maka pemerintah selanjutnya yang harus menyelesaikannya,” ujarnya.

Sebagaimana diketahui, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah merilis catatan sejumlah kasus pelanggaran HAM yang tak selesai di era pemerintahan Joko Widodo.

Catatan merah kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut diantaranya: peristiwa penembak misterius (petrus) yang terjadi pada 1982 hingga 1985, kerusuhan Tanjung Priok pada 12 September 1984, peristiwa Talangsari, Lampung Timur pada 7 Februari 1989, peristiwa Haur Koneng, Majalengka pada 29 Juli 1993.

Selanjutnya, peristiwa penghilangan aktivis pada pangkal masa Orde Baru tahun 1997-1998. Kasus Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, dan kerusuhan Mei 1998, hingga kasus Munir.

Menurutnya, peristiwa penculikan aktivis pada 1997-1998 sudah diusut dan Tim Mawar (sebuah tim kecil dari kesatuan Komando Pasukan Khusus Grup IV, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat) yang dituding sebagai dalang penculikan pro-demokrasi telah dihukum.

Kasus penculikan ini menyeret 11 anggota tim mawar ke pengadilan Mahmilti II pada bulan April 1999. Saat itu Mahmilti II Jakarta yang diketuai Kolonel CHK Susanto memutus perkara nomor PUT.25-16/K-AD/MMT-II/IV/1999 yang memvonis Mayor Inf Bambang Kristiono (Komandan Tim Mawar) 22 bulan penjara dan memecatnya sebagai anggota TNI.

Pengadilan juga memvonis Kapten Inf Fausani Syahrial (FS) Multhazar (Wakil Komandan Tim Mawar), Kapten Inf Nugroho Sulistiyo Budi, Kapten Inf Yulius Selvanus dan Kapten Inf Untung Budi Harto, masing-masing 20 bulan penjara dan memecat mereka sebagai anggota TNI.

Sedangkan, 6 prajurit lainnya dihukum penjara tetapi tidak dikenai sanksi pemecatan sebagai anggota TNI. Mereka itu adalah Kapten Inf Dadang Hendra Yuda, Kapten Inf Djaka Budi Utama, Kapten Inf Fauka Noor Farid masing-masing dipenjara 1 tahun 4 bulan. Sementara Serka Sunaryo, Serka Sigit Sugianto dan Sertu Sukadi hanya dikenai hukuman penjara 1 tahun.

“Lalu bagaimana dengan kasus pelanggaran HAM lainnya, kasus Tanjung Priok, Talangsari, Haur Koneng hingga kerusuhan Mei 1998. Presiden Jokowi diawal pemerintahannya berjanji akan menuntaskan kasus-kasus tersebut namun tidak terwujud. Nah bila ada pergantian pemimpin pada 2019 nanti, kasus-kasus tersebut harus dituntaskan lalu dibuat badan rekonsiliasi nasional agar semua anak bangsa tidak lagi saling bermusuhan dan bersama-sama mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur,” ujarnya.

Lebih lanjut Mas Han menambahkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM butuh komitmen dan keberanian dari penguasa karena dapat menyeret sejumlah pihak yang dekat dengan kekuasaan.

“Meski beresiko terganggunya stabilitas politik namun pemerintah harus menunjukkan komitmen, bukan semata untuk kepentingan elektoral, tapi dilandasi kemauan politik dan upaya untuk mewujudkan keadilan sosial,” ujarnya. (Gan)

Related posts