Suara Karya

Hari Pahlawan, HUT ke-61 Kosgoro 1957 dan Pergelaran Wayang Wahyu Topeng Wojo

Oleh: redaksisuarakarya.co.id

MALANG (Suarakarya): Memperingati Hari Pahlawan dan perayaan HUT Ke-61 Kosgoro 1957, keluarga besar Kosgoro 1957 menggelar acara wayangan semalam suntuk di Taman Krida Budaya Jawa Timur di Malang, Sabtu malam (10/11).

Dalam acara yang dihadiri pengurus Pimpinan Pusat Kolektif (PPK), Pimpinan Daerah Kolektif (PDK) Kosgoro 1957 dari sejumlah provinsi dan kabupaten/kota itu, digelar lakon Wahyu Topeng Wojo.

Ketua Umum PPK Kosgoro 1957 HR. Agung Laksono dalam sambutannya mengatakan, semangat kepahlawanan dari para pejuang Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur sangat menjiwai dan menginspirasi perjuangan, visi, misi, dan kiprah Kosgoro 1957.

(suarakarya.co.id)

“Mas Isman, pendiri Kosgoro, adalah salah satu dari tokoh pejuang TRIP. Semangat dan teladan beliau menginspirasi kami, keluarga besar dan generasi penerus Kosgoro 1957,” kata Agung.

Semangat kepahlawanan, pantang menyerah, berani berkorban jiwa dan raga untuk kejayaan Tanah Air, mempertahankan NKRI, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan UUD 1945 merupakan harga mati.

Pergelaran wayang yang diselenggarakan, selain merupakan upaya untuk “nguri-uri” atau melestarikan seni dan budaya bangsa, juga untuk sarana refleksi, berkaca, untuk mengambil pelajaran, pesan moral, hikmah, dan ajaran-ajaran kearifan dari leluhur yang adi luhung.

Dalam lakon wayang, banyak ajaran kepahlawanan yang dapat dipetik, dan masih relevan untuk diterapkan di masa kekinian. Selain itu, pergelaran wayang juga dapat menjadi hiburan sehat yang dapat dinikmati bersama-sama masyarakat luas.

Acara wayangan itu juga ditandai dengan pengangkatan sejumlah sesepuh dan pinisepuh Padepokan Kosgoro 1957. Ketua Dewan Pembina Padepokan Kosgoro 1957 HM Ridwan Hisjam mengatakan, pemilihan lakon Wahyu Topeng Wojo karena kisah itu penuh dengan ajaran kepahlawanan dan kesatriaan, serta sarat semangat kejuangan.

(suarakarya.co.id)

“Melalui kegiatan ini, kami terus melestarikan budaya bangsa Indonesia agar kita selalu kembali ke jatidiri bangsa Indonesia. Merupakan kewajiban kita bersama untuk melestarikannya,” tutur caleg DPR dari Dapil Malang Raya.

Acara wayangan itu dibuka oleh HR. Agung Laksono yang ditandai dengan penyerahan anak wayang Gatotkaca kepada dalang Ki Aji Dwi Santoso. Seusai pergelaran wayang, pada Minggu pagi, dilaksanakan penanaman bibit buah durian unggulan untuk 10.000 keluarga se-Malang Raya, yang dipusatkan di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang.

“Kegiatan itu bertujuan untuk memberdayakan dan meningkatkan perekonomian keluarga,” ujar Ridwan Hisjam yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR dari FPG.

Perebutan Wahyu

Lakon wayang Wahyu Topeng Wojo merupakan lakon carangan yang mengisahkan perebutan wahyu dari para Dewa di Khayangan, yakni wahyu yang berupa Topeng Wojo (Topeng Baja). Itulah wahyu untuk menjadi senopati (panglima perang) Pandawa dalam perang akbar Bharata Yudha Jayabinangun.

Rebutan terjadi antara Raden Gatotkaca dan Raden Boma Narakasura. Lakon ini menggambarkan sengitnya perebutan wahyu (kekuasaan) yang diwarnai dengan tindakan-tindakan yang menghalalkan segala cara, fitnah, informasi hoaks, ofensif disinformasi, pemaksaan kehendak, negosiasi dan transaksi, dan pengerahan massa (bala tentara).

Kisah dimulai dari ketika para Pandawa menerima wangsit untuk mempersiapkan wisuda senopati yang akan menjadi senopati perangnya Pandawa untuk berperang dalam Bharata Yudha. Sementara itu, ada syarat berat yang harus dipenuhi, yakni membangun infrastruktur jalan dari Khayangan Junggring Salaka ke Tegal Kurusetra.

(suarakarya.co.id)

Infrastruktur itu untuk jalan raya bagi para Dewa yang akan menyaksikan perang Bharata Yudha. Nah, jalan dari khayangan itu akan melewati Alas Tunggulrono yang menjadi kawasan penguasaan Gatotkaca.

Siapa yang bisa menyelesaikan tugas itu akan diwisuda menjadi Senopati Agung, senopatinya para senopati yang akan menjadi senopati andalan Pandawa dalam perang Bharata Yudha. Maka, tugas diserahkan kepada Gatotkaca yang dipromosikan Pandawa untuk memimpin barisan Pandawa saat perang melawan Kurawa.

Nah, Gatotkaca mendapat firasat buruk. Dalam mimpinya, dia hanyut dalam sungai yang airnya sangat kotor (keruh) dan bisa bertahan dengan cara memegang akar pohon Cendana. Merasa ada sasmita yang tidak baik Gatotkaca segera menghadap gurunya, Eyang Resi Seto.

Sementara di Trajutisna, Raden Boma Narakasura merasa geram mendengar Pandawa akan menobatkan Gatotkaca menjadi senopati. Boma Narakasura memang musuh bebuyutan Gatotkaca. Maka, dia bertekad merebut pekerjaan infrastruktur jalan itu dari tangan Gatotkaca.

Boma meminta bantuan ayahnya, Prabu Sri Bhatara Kresna di Keraton Dwarawati. Pergilah dia ke Dwarawati dengan diiringi Patih Pancatnyono, punakawan (Bilung dan Togog), serta massa para raksasa.

Sedangkan di Keraton Amarta, Prabu Puntodewo mengutus Antaredja ke Dwarawati untuk menjemput Prabu Kresna. Sementara Abimanyu diutus ke pertapaan Eyang Abiyasa. Keduanya dijemput untuk menghadiri dan memberi restu saat pelantikan senopati Pandawa.

Di Keraton Dwarawati, Sri Kresna menerima rombongan Boma Narakasura. Dalam pertemuan itu, Boma meminta Kresna agar mempercayakan kepada dirinya untuk mengambil alih tugas Gatotkaca dalam membuat jalan dari Khayangan ke Tegal Kurusetra.

Dengan melaksanakan pekerjaan itu, Boma berharap bisa mendapatkan wahyu Topeng Wojo dan diangkat menjadi Senopati Agung Pandawa. Merespons permintaan itu, secara mendadak Kresna menjadi condong kepada keinginan anaknya.

Sesaat kemudian, datanglah rombongan Amarta ke Dwarawati dipimpin Antaredja. Antaredja menyampaikan pesan Puntadewa yang meminta Prabu Kresna untuk datang ke Amarta. Khawatir bahwa ayahnya akan berubah sikap mendukung Gatotkaca begitu hadir di Amarta, maka Boma Naraksura membuat ribut dengan menolak permintaan Antaredja dan mengajaknya keluar dari paseban ke alun alun untuk perang tanding. Bilung dan Togog menasihati Boma agar mundur karena Antaredja sangat sakti dan keduanya masih bersaudara.

Namun, Boma tetap ngotot karena yakin menang. Perang tanding itu akhirnya dihentikan oleh Prabu Kresna. Sedangkan, Kresna ikut Antaredja ke Amarta. Di pertapaan Eyang Resi Seto, Gatotkaca menyampaikan tentang tugasnya membuat jalan dari Khayangan sampai Tegal Kurusetra, meminta restu sang resi, dan menceritakan ikhwal mimpinya.

Eyang Seto merestui dan sekaligus menjelaskan arti mimpinya. Dikatakan, Gatotkaca akan difitnah oleh orang dekat yang masih saudara dengannya. Namun, Gatotkaca akan selamat jika senantiasa bersikap kesatria. Eyang Seto memberi perlambang bahwa yang bakal menghalanginya adalah Boma Narakasura.

Gatotkaca bimbang mengetahui bahwa musuhnya adalah saudaranya sendiri dan berniat melabraknya, tetapi dilarang oleh Eyang Seto. Gatotkaca justru diminta segera pergi ke Amarta karena dalam penglihatan sang Resi, Amarta telah kemasukan penyusup yang mempunyai sikap angkara murka. Eyang Seta berjanji untuk melindungi Gatotkaca dan memberi tambahan ilmu aji Brajamusti.

Perjuangan Gatotkaca

Selanjutnya, perjuangan Gatotkaca untuk mendapatkan Topeng Wojo tidaklah mudah. Dorongan nafsu memperoleh kekuasaan (wahyu), membuat Boma Narakasura nekat, bertindak tanpa mengindahkan etika.

Seperti sudah dikisahkan, dalam upaya mendapatkan wahyu yang bukan haknya itu, Boma Narakasura meminta bantuan ayahnya, Prabu Kresna untuk merebut Topeng Wojo dari yang berhak. Demi sayang anak, dengan kesaktiannya Kresna mengubah sosok Boma Narakasura menyamar menjadi Gatotkaca.

Namun, rencana jahat itu diketahui oleh Wisanggeni, saudara sepupu Gatotkaca. Wisanggeni berupaya mengagalkan rencana busuk itu. Di perjalanan, Wisanggeni bertemu sosok Petruk yang sedang galau, sakit hati, dan bosan menjadi wong cilik, abdi atau pelayan para kesatria Pandawa.

Kepada Wisanggeni, Petruk menyampaikan keinginannya untuk pergi ke khayangan meminta kepada para dewa agar dirinya bisa diubah menjadi tampan dan kembali menjadi raja. Wisanggeni dan Petruk kemudian bekerja sama untuk menggagalkan usaha Kresna dan Boma yang mau merebut wahyu Topeng Wojo.

Singkat cerita, terjadilah pertemuan Wisanggeni dengan Kresna. Terjadi perang tanding yang sengit antara keduanya yang sama-sama sakti. Perang tanding terhenti, tidak ada yang menang atau kalah, karena Kresna dan Boma langsung kabur terbang menuju khayangan. Keduanya bermaksud menjemput Topeng Wojo. Mereka menghadap para Dewa di Khayangan dan secara halus meminta wahyu itu. Atas persuasi Kresna, para Dewa pun tertipu dan memberikan Topeng Wojo kepada Boma Narakasura yang menyamar sebagai Gatotkaca.

Setelah Kresna dan Boma pergi dari Khayangan, datanglah Gatotkaca ke Khayangan menemui para Dewa dan meminta haknya. Namun, Topeng Wojo itu sudah tidak ada karena telah diberikan kepada Boma.

Nah, kembali pada Wisanggeni dan Petruk. Ketika Wisanggeni bertanya, mengapa bermaksud pergi ke Khayangan, Petruk mengatakan, dirinya ingin disembah menjadi raja. Untuk membantu Petruk menjadi raja, Wisanggeni pun menyarankan agar Petruk menyamar beralih rupa menjadi Boma Narakasura, dan pergi ke Trajutisna menjadi raja di sana. Wisanggeni pun membantu Petruk mencuri pakaian Boma Narakasura yang disimpan dalam bokor di Dwarawati.

Setelah menyamar memakai pakaian Boma, Petruk pun bertahta menjadi raja di Trajutisna dan mendapat sembah bekti dari para prajurit dan abdi dalem keraton. Gatotokaca dengan rasa amarah yang mengebu pergi mencari sang “maling” Topeng Wojo. Maka, berjumpa lah Gatotkaca asli dengan Gatotkaca palsu yang sesungguhnya Boma yang sedang menyamar.

Boma kalah dan terbunuh. Namun, Boma yang memiliki aji Pancasona selalu hidup kembali kalau bersentuhan tanah dan dilompati Kresna. Sulit menghadapi Boma, Gatotkaca pergi menghadap orangtuanya, Raden Werkudara untuk meminta petunjuk.

Sri Kresna yang khawatir kalau Boma terbunuh kemudian mengajak anaknya yang dalam penyamaran sebagai Gatotkaca menghadap para Pandawa. Di hadapan Bima, salah satu dari Pandawa lima, Kresna mengatakan bahwa yang datang bersamanya adalah Gatotkaca yang asli.

Sedangkan, Gatotkaca yang asli malah difitnah sebagai sang maling Topeng Wojo. Kresna meminta Bima untuk segera menghukum mati Gatotkaca. Namun, Bima yang bijaksana, waskita dan waspada, tidak serta-merta mempercayai laporan Kresna.

Bima kemudian minta tolong kepada Anoman yang menyarankan agar dibuat saja sayembara yang diikuti kedua Gatotkaca itu. Disebutkan bahwa Gatotkaca yang asli dapat masuk dalam kendi. Padahal, itu sesungguhnya tipuan.

Sayembara diadakan di alun-alun dan disaksikan saudara mereka juga, Antaredja dan Antasena. Saat pelaksanaan, ternyata sang Boma lah yang bisa masuk ke dalam kendi. Karena terpengaruh oleh tipuan Anoman tadi, Antaredja dan Antasena langsung menghajar Gatotkaca (asli) yang tidak bisa masuk ke dalam kendi.

Untunglah tindakan itu segera dihentikan oleh Anoman yang mengatakan, yang seharusnya dihajar adalah Gatotkaca palsu yang ada di dalam kendi. Anoman tahu bahwa Gatotkaca asli tidak akan bisa masuk ke dalam kendi. Akibatnya, Boma sang Gatotkaca palsu dihajar masif oleh ketiga bersaudara, yaitu Gatotkaca asli, Antaredja dan Antaseno.

Kesadaran Boma

Sri Kresna segera menyelamatkan anaknya dan membawanya ke Dwarawati untuk diubah kembali menjadi sosok Boma Narakasura. Namun, sesampainya di Dwarawati, pakaian khas Boma telah hilang. Mereka segera pergi ke Trajutisna untuk mengetahui siapa pencuri baju Boma.

Sampai di Trajutisna, mereka mendapati Petruk yang telah berubah rupa menjadi raja dan memakai pakaian Boma. Ketika Petruk diinterogasi, siapa yang menjadi sponsor Petruk jadi raja, muncullah Wisanggeni. Sang putra Arjuna itu kemudian mengajukan dua pilihan kepada Boma Narakasura, memilih menjadi raja atau memilih Topeng Wojo.

Boma Narakasura memilih menjadi raja karena tidak rela kalo kerajaannya dipimpin oleh Petruk. Boma Narakasura kembali ke jalan yang benar, menyadari bahwa Topeng Wojo memang bukan haknya. Prabu Sri Kresna juga menyadari kekeliruannya dan mendukung penuh pencalonan Gatotkaca menjadi Senapati Agung Pandawa dalam Perang Bharatayudha Jayabinangun.

Pesan moral lakon itu, antara lain, sehebat apapun jika masih bernama manusia maka nafsu, lupa, salah dan khilaf akan senatiasa melekat. Demikian pula dengan Prabu Sri Bathara Kresna. Dalam kapasitasnya sebagai “titisan Wisnu” dia adalah manusia linuwih, manusia setengah dewa yang nyaris terhindar dari kesalahan.

Itulah yang terjadi ketika Kresna mendukung keinginan anaknya. Boma Narakasura untuk merebut Topeng Wojo yang bukan haknya dari Gatotkaca.

Pesan lainnya adalah perlunya pengendalian nafsu, terutama nafsu untuk berkuasa. Jangan menghalalkan segala cara. Siapa yang berperilaku kesatria, jujur, sederhana, dan sungguh-sungguh bekerja melaksanakan tugas dan kewajibannya, maka dialah yang berhak mendapatkannya.

Gatotkaca telah membangun infrastruktur jalan dari Khayangan ke Padang Kurusetra, maka dialah yang berhak atas Wahyu Topeng Wojo.

Related posts