JAKARTA (Suara Karya): Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menggelar puncak peringatan HUT ke-80 PGRI dan Hari Guru Nasional (HGN) 2025 di BRItama Arena, Kelapa Gading, Jakarta, pada Sabtu (29/11/25).
Lebih dari 10.000 guru dari seluruh Indonesia hadir, meski kapasitas arena hanya memungkinkan sekitar 7.500 peserta masuk ke dalam gedung.
Acara puncak juga diisi dengan penganugerahan ‘Dwija Praja Nugraha’ kepada gubernur, bupati, dan wali kota yang dinilai berkomitmen terhadap peningkatan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru.
Dalam sambutannya, Ketua Umum PGRI Unifah Rosyidi menegaskan, organisasi guru terbesar di Indonesia itu akan terus memperjuangkan hak-hak guru, terutama kesejahteraan, peningkatan kompetensi, dan perlindungan hukum.
Pada sesi wawancara dengan media, Unifah menyampaikan berbagai kritik tegas dan jujur terkait kebijakan di RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).
Unifah mengaku keberatan atas rumusan Tunjangan Profesi Guru (TPG) dalam RUU Sisdiknas yang menggunakan frasa ‘setara minimum satu kali gaji pokok’.
“Tolong tendang kata ‘setara’. Kalau minimum, ya minimum saja. Guru jangan cuma dipuji di pidato, tapi tidak nyata keberpihakannya dalam kebijakan,” tegasnya.
Ia menilai frasa tersebut menunjukkan pemerintah belum sepenuhnya tulus dalam mengakui profesi guru.
Unifah menyampaikan 4 tuntutan PGRI yang telah disampaikan kepada pemerintah dan DPR, yaitu TPG-TKD tetap diberikan dengan batas minimum yang jelas tanpa diskriminatif.
Kedua, anggaran pendidikan 20 persen harus benar-benar untuk fungsi pendidikan. Ketiga, PPG wajib setara dengan pendidikan profesi lain: linear, terstandar, dan berkualitas.
Keempat, organisasi profesi guru tidak boleh dihambat, termasuk hak guru memiliki identitas NUPTK dan atribut organisasi.
Menyoroti maraknya kriminalisasi guru, PGRI mendesak agar perlindungan guru dicantumkan secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, termasuk RUU Sisdiknas.

“Kalau guru dihadapkan dengan undang-undang lain, guru pasti kalah. Perlindungan guru harus selevel undang-undang. Harus implementatif,” katanya.
Terkait isu kebijakan rekrutmen ASN, Unifah mendukung langkah pemerintah yang akan mengalihkan skema PPPK menjadi fokus CPNS.
“Orang yang sudah antri sebagai PPPK dan paruh waktu, jadikan PNS. Itu kepastian masa depan mereka,” ujarnya.
Ia menegaskan, penyelesaian status guru honorer harus menjadi prioritas sebelum pemerintah membuka rekrutmen ASN baru.
Unifah juga menyesalkan adanya larangan penggunaan seragam PGRI di peringatan HGN.
“Kami bangga memakai seragam PGRI. Itu simbol soliditas dan solidaritas guru. Bahkan, saya pakai seragam PGRI ini sampai ke forum internasional,” ujarnya tegas.
Kepada media, Unifah mengungkapkan kekecewaan guru karena Presiden tidak dapat hadir ke acara, karena harus ke Aceh. Untuk itu, PGRI menyatakan keprihatinan atas bencana banjir bandang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
“PGRI akan membuka donasi nasional untuk membantu para guru terdampak. Dari dulu, kalau ada bencana, PGRI pasti bergerak,” tegas Unifah.
Meski kecewa karena tak hadir dalam HUT PGRI, PGRI menyatakan dukungan terhadap Asta Cita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang menempatkan peningkatan kualitas pendidikan sebagai prioritas nasional.
Namun, Unifah berharap guru jangan hanya indah dipidatokan, tapi harus ada keberpihakan dalam kebijakan. “Sudah saatnya semua pemangku kepentingan berpihak kepada wong cilik, kaum guru. Dedikasi guru adalah penerang bagi bangsa dan masa depan Indonesia,” tegasnya.
Sebelum puncak acara, PGRI menggelar kegiatan sejak Oktober hingga akhir November seperti lomba olahraga, seni, pembelajaran, inovasi guru, seminar, workshop, hingga webinar series, mulai dari tingkat pusat hingga ranting.
Di bidang kemanusiaan, PGRI bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia (PMI) menggelar program donor darah nasional yang menargetkan lebih dari 20.000 guru dan tenaga kependidikan.
Pada puncak acara, ditandatangani MoU antara Ketua Umum PMI Jusuf Kalla dan Ketua Umum PB PGRI Unifah Rosyidi. (Tri Wahyuni)

