Suara Karya

IDI Minta Data Pasien Covid-19 Dibuka, Guna Permudah Contact Tracing

JAKARTA (Suara Karya): Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta pemerintah untuk membuka sepenuhnya data pasien positif covid-19. Merahasiakan nama justru menghambat para pihak yang akan menelusuri orang yang pernah kontak (contact tracing) dengan pasien tersebut.

“Pembeberan nama pasien covid-19 saat ini bukanlah aib. Apalagi pemerintah sudah menetapkan kasus covid-19 sebagai bencana nasional,” kata Ketua Umum PB IDI, Daeng M Faqih kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/3/20).

Daeng dalam kesempatan itu didampingi rekan sejawat yaitu Mohammad Nasser, Prasetyo Widhi Buwono, Hanif Fadhillah, Lenie Dahliana, Emie Nurjasmin dan anggota Gugus Satgas Covid-19, Dyah Agustina.

Daeng menilai keterbukaan nama pasien positif covid-19 menjadi penting, karena para pihak dapat melakukan pemeriksaan medis. Setelah itu, jika kondisi kesehatan-nya baik dapat melakukan isolasi diri di rumah masing-masing selama 14 untuk mencegah penularan makin meluas.

“Pemerintah selama ini berkilah kalau data pasien adalah kerahasiaan. Tetapi kenapa nama Menteri Perhubungan BKS sebagai pasien positif covid-19 justru diumumkan. Ini kan jadi ambigu,” ujarnya.

Hal senada dikemukakan Ketua Dewan Penasehat PB IDI, Mohammad Nasser. Pembukaan data pasien dalam kondisi bencana seperti ini sebenarnya tidak melanggar hukum. Karena situasinya sudah dianggap mengancam kesehatan individu dan masyarakat.

Terkait kerahasiaan medis, Nasser merujuk pada empat Undang-Undang (UU) Lex Spesialis, yaitu, pasal 48 UU No 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, pasal 57 UU No 36/2009 tentang Kesehatan, pasal 38 UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, pasal 73 UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan.

“Data dirahasiakan karena takut terjadi stigmatisasi dan diskriminasi pada pasien di masa depan seperti penyakit AIDS atau penyakit menular seksual lainnya. Terinfeksi covid-19 itu bukanlah aib, karena corona hanya virus seperti influenza. Berhubung ini virus baru dan belum ada obatnya, makanya orang jadi heboh,” ujarnya.

Menyembunyikan identitas pasien positif covid-19n menurut Nasser, hanya menimbulkan penyebaran rasa takut pada masyarakat. Sebaliknya, orang yang sembuh dari covid-19 harus didukung juga untuk bebas dari rasa bersalah dan beban psikologis akibat terinfeksi virus tersebut.

“Penyebutan nama Menhub BKS sebagai salah satu pasien positif covid-19 adalah salah satu contoh baik. Masyarakat malah memberi simpati, lalu mereka yang berdekatan dengan BKS dengan sadar memeriksakan dirinya. Situasi seperti ini yang kami harapkan jika data pasien covid-19 dibuka luas,” tuturnya.

Ditanya jumlah tenaga kesehatan yang terinfeksi covid-19, Daeng mengaku, belum punya datanya. Hal itu terkendala kebijakan kerahasiaan pasien. Padahal data ini penting bagi organisasi. Mengingat, tenaga kesehatan merupakan garda terdepan dalam menghadapi wabah covid-19.

“Seandainya kami tahu data petugas kesehatan yang terinfeksi covid-19, kami jadi punya gambaran untuk langkah strategik berikutnya. Karena seperti keinginan semua orang, mereka tak ingin tertular. Termasuk petugas kesehatan,” ujarnya.

Sementara itu Anggota Gugus Satgas Covid-19, Dyah Agustina menyayangkan masih banyak orangtua yang mengajak anaknya jalan-jalan ke mall atau pergi ke kampung halaman, alih-alih belajar di rumah. Padahal tujuan kebijakan penutupan sekolah untuk meminimalisasi mobilitas masyarakat.

“Para orangtua kami minta untuk dapat menahan diri tidak keluar rumah, agar mata rantai penularan covid-19 dapat segera terputus. Jika tidak perlu sekali, jangan keluar rumah,” ujarnya.

Dyah mengaku begitu khawatir virus corona akan merebak dengan cepat di Indonesia, sementara fasilitas kesehatan tak mampu menampung pasien. Kondisi akan menimbulkan chaos di sejumlah layanan kesehatan.

“Karena itu saya mengimbau pada orangtua untuk tidak menganggap masa libur sekarang sebagai waktu libur. Ini saatnya membangun kebersamaan di rumah,” kata Dyah menandaskan. (Tri Wahyuni)

Related posts