
JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah akan menjadikan Presidensi G20 sebagai momentum untuk membuktikan komitmen dalam meningkatkan literasi di Indonesia.
Hal itu dikemukakan Deputi Bidang Koordinasi Revolusi Mental, Pemajuan Kebudayaan dan Prestasi Olahraga, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK), Didik Suhardi, di Jakarta, Senin (14/3/22).
Merujuk pada hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) pada 2019, literasi Indonesia menempati ranking ke-62 dari 70 negara. Indonesia berada di peringkat 10 negara terbawah dengan tingkat literasi rendah.
“Kita harus mengambil momentum G20 untuk menunjukkan komitmen Indonesia dalam komitmen meningkatkan literasi,” kata Didik.
Ditambahkan, tahun lalu Indonesia berhasil mendaftarkan literasi aksara yang belum dimiliki Indonesia sebelumnya, yaitu aksara Jawa, aksara Bali dan aksara Sunda.
“Kita harus mengisi G20 dengan pentas seni dan budaya di arena G20, sehingga para peserta tahu tentang kekayaan bangsa Indonesia,” tandasnya.
Apalagi, lanjut Didik, dunia sejatinya telah mengetahui dan mengakui kekayaan bangsa Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Unesco pun telah mengatakan Indonesia adalah negara super power budaya.
Namun, pemerintah menyadari masih banyak tantangan dalam meningkatkan literasi di Indonesia. Diperlukan kerja sama pentahelix yang melibatkan 5 unsur yaitu pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat dan media massa.
Didik menegaskan, literasi sangat penting dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang berkualitas. Kerja sama pentahelix perlu sebuah sistem yang dapat mengkolaborasikan semua unsur secara otomatis.
“Kita akan menciptakan sebuah sistem, agar kolaborasi bisa dilakukan tanpa cara-cara manual. Sistem yang nantinya akan membuat orang otomatis berkolaborasi, sebagai bagian dari upaya peningkatan literasi,” tuturnya.
Mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) itu menegaskan, sistem akan “memaksa” untuk berkolaborasi. Sehingga, tak hanya pemerintah tetapi seluruh pihak akan berkontribusi secara merata tanpa mengedepankan ego sektoral masing-masing.
Didik mengakui, tak dinafikkan masih ada egosektoral atau sistem birokrasi yang justru menghambat upaya percepatan peningkatan literasi di Indonesia. Kolaborasi yang tanpa disertai ego sektoral sangat penting agar kerja sama untuk mencapai tujuan dapat berjalan dengan baik.
“Itu yang akan kita lakukan untuk menghindari silo effect yang hanya mementingkan pencapaian kinerja masing-masing. Tentu kita harapkan kinerja pentahelix bisa membantu pemerintah untuk meningkatkan literasi bangsa Indonesia,” kata Didik menandaskan. (Tri Wahyuni)