JAKARTA (Suara Karya): Indonesia memiliki potensi memimpin pasar obat herbal di lingkungan negara Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), karena memiliki sediaan bahan baku yang besar. Upaya itu sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia atas impor bahan baku obat sintetis.
“Hampir 95 persen bahan baku obat kita masih impor. Untuk itu, pentingnya kita mengembangkan obat herbal guna mengurangi ketergantungan itu,” kata Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito di sela konferensi pers “The First Meeting of National Medicines Regulatory Authorities (NMRAs) di Jakarta, Senin (19/11/2018).
Hadir dalam acara itu, Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Alphyanto Ruddyard, Dirut Biofarma M Rahman Roestan dan jajaran deputi di lingkungan BPOM.
Pertemuan perdana NMRAs anggota OKI akan digelar pada 21-22 November 2018 di Jakarta. Hingga Senin pagi, dikatakan, sudah ada 30 negara anggota OKI yang menyatakan kehadirannya.
Ditambahkan, Indonesia bisa berkaca dari pengalaman China dan India dalam memajukan industrinya lewat interaksi lintas sektor akademisi, bisnis dan pemerintah yang saling bersinergi. Jika mengandalkan pada satu sektor saja, hasilnya tak akan optimal.
Untuk itu, lanjut Penny, BPOM sebagai regulator obat dan makanan di Indonesia, telah menjalin nota kesepahaman dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) agar inovasi dalam industri bisa dikapitalisasi dengan baik.
“Melalui nota kesepahaman ini, kami akan melakukan pengawalan atas penelitian dan pengembangan obat dan makanan di Indonesia. Hasil penelitian akan dihilirisasi atau dikomersialisasi,” ujarnya.
Sinergi itu, menurut Penny, harus dilakukan agar suplai bahan baku terjamin. Regulasi juga harus ada untuk memberi kepastian standar prosedur dan jaminan hukum.
“Membangun sektor industri obat herbal dalam negeri yang kuat harus dipayungi oleh konsorsium dengan pencanangan target dan monitoring pencapaian. Bukan mustahil, Indonesia menjadi produsen obat herbal tingkat dunia,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Dirjen Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri, Febrian Alphyanto Ruddyard. Menurutnya, kerja sama antar anggota OKI di bidang obat-obatan penting untuk menjaga kemitraan dalam skala yang lebih luas.
“Pertemuan NMRAs ini memposisikan Indonesia sebagai ‘next level’. Boleh dibilang, peran Indonesia sangat diperhitungkan oleh negara-negara anggota OKI,” ujarnya.
Febrian menuturkan, saat awal OKI didirikan untuk menentang pendudukan Israel atas Palestina. Dari gerakan politik kini kerja sama makin luas dalam ekonomi, perdagangan, ilmu pengetahuan hinhha sosial budaya.
Dia mengatakan pertemuan NMRAs OKI perdana itu juga memiliki posisi strategis sebagai kerja sama multilateral ukhuwah ke-Islaman antaranggota OKI. “Jangan sampai politik saja tapi kemaslahatan umat juga perlu sehingga memperkuat hubungan antarnegara,” katanya.
Febrian mengatakan kerja sama dalam berbagai hal di antara anggota OKI akan turut membantu negara berkembang termasuk Palestina sendiri.
“Kegiatan ini menjadi amal jariyah pembangunan kapasitas untuk membagi kemampuan kita terkait obat,” kata Febrian merujuk pertemuan NMRAs yang salah satunya berisi “sharing” pengetahuan dalam regulasi obat di Indonesia kepada negara-negara OKI. (Tri Wahyuni)