JAKARTA (Suara Karya): Siswa Indonesia mempertahankan tradisi emas dalam perolehan medali di perhelatan Olympiad on Astronomy and Astrophysics (IOAA) ke-12 pada 3-11 November di Beijing, China. Indonesia meraih 1 emas, 1 perak dan 3 perunggu.
“Ini prestasi yang luar biasa. Para siswa memiliki daya pikir yang sangat bagus, karena astronomi tak dipelajari secara khusus di Indonesia,” kata Kepala Subdit Peserta Didik, Direktor Pembinaan SMA, Kemdikbud, Juandanilsyah saat menerima para juara di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Senin (12/11/2018).
Medali emas diraih Nathanael Beta Budiman dari SMAN 2 Jakarta. Medali perak oleh Muhammad Ikhsan Kusrachmansyah dari SMA Kesatuan Bangsa, Yogyakarta. Dan medali perunggu diraih Ahmad Izuddin dari SMAN Plus Provinsi Riau, Made Yongga Anggar Pangestu, dari SMAN 1 Mataram dan Muhammad Fajril Afkaar Ali, dari SMA Kharisma Bangsa, Banten.
Juanda menjelaskan, IOAA merupakan acara internasional yang cukup bergengsi. Karena diikuti 209 siswa, 71 team leader, 35 peninjau dari 39 negara. “Sebelum berangkat kelima siswa ini dapat pembekalan selama 1 bulan agar lebih siap dalam lomba,” ujarnya.
Peraih medali emas Nathanael menuturkan, lawan terbesar adalah siswa dari negara Iran, Rusia, Amerika, Taiwan dan tuan rumah China. Selain ujian teori, peserta lomba melakukan pengamatan langsung melalui planetarium yang ada di Beijing.
“Ronde analisa data berlangsung selama 5 jam pada pagi dan malam hari. Ini tantangan terbesar ditengah cuaca dingin 0 derajat celcius,” ujarnya.
Pada ronde teori, siswa bergelut dengan 11 soal-soal terdiri atas 2 soal model Betul atau Salah, 7 soal essay pendek-medium dan 2 soal essay panjang. Siswa diberi waktu selama 5 jam untuk menjawab soal tersebut.
“Kecerdasan dan ketahanan siswa benar-
benar diuji dalam ronde-ronde tersebut,” kata Nathanael yang saat ini telah mahasiswa semester 1 jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung.
Ditanyakan tingkat kesulitan soal, Nathanael mengatakan, soal itu tak pernah diajarkan di sekolah manapun di Indonesia. Karena astronomi tidak ada dalam kurikulum di Indonesia.
“Astronomi hanya diajarkan di perguruan tinggi. Itupun katanya baru di ITB,” ujar Nathanael yang pada kesempatan itu didampingi peraih medali perak, Muhammad Ikhsan Kusrachmansyah.
Namun, ia mengakui, kecintaannya pada matematika dan fisika yang mendorong untuk terjun dalam lomba astronomi di tingkat nasional. Sebagai juara, ia berhak mewakili Indonesia di ajang IOAA di Beijing.
“Kami belajar soal astronomi secara serius di masa karatina. Ada 4 kali masa karatina sebelum berangkat ke Beijing,” kata Nathanael yang memiliki nilai 9 untuk matematika dan fisika di rapornya. (Tri Wahyuni)