JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah memutuskan untuk segera menyelesaikan proses ratifikasi tujuh Perjanjian Perdagangan Internasional (PPI) yang akan ditetapkan melalui Peraturan Presiden.
“Jadi, kita putuskan dalam rakor ini untuk meratifikasi tujuh PPI dengan mempertimbangkan UU Perdagangan tentang Pengaturan Ratifikasi PPI. Keputusan ini juga diambil mengingat pentingnya penandatanganan perjanjian-perjanjian tersebut,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang memimpin Rapat Koordinasi Penyelesaian Ratifikasi PPI Indonesia, melalui rilis yang diterima suarakarya.co.id, Rabu (7/11/2018) malam.
Sebelumnya ketujuh PPI ini secara bertahap telah disampaikan ke DPR, lebih dari 60 hari yang lalu. Keputusan ini merujuk pada UU Nomor 7 Tahun 2014 Pasal 84 Ayat 4 yang mengatur tentang ratifikasi PPI, di mana apabila DPR tidak mengambil keputusan dalam waktu paling lama 60 hari kerja pada masa sidang, maka pemerintah dapat memutuskan perlu atau tidaknya persetujuan DPR.
“Saya akan segera lapor pada Presiden dengan membawa draft Perpres yang sudah siap,” tandasnya.
Adapun laporan pemerintah kepada DPR mengenai ketujuh PPI tersebut adalah, first protocol to amend the AANZFTA Agreement, disampaikan pada 5 Maret 2015. Kedua, agreement on trade in services under the ASEAN-India FTA (AITISA), disampaikan pada 8 April 2015.
Ketiga. Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under ASEAN-Korea FTA (AKFTA), disampaikan pada 2 Maret 2016. Keempat, Protocol to Amend the Framework Agreement under ASEAN-China FTA (ACFTA), disampaikan pada 2 Maret 2016.
Lalu laporan kelima dan keenam disampaikan, ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD), pada 22 Februari 2016, Protocol to Implement the 9th ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS-9), pada 23 Mei 2016.
Ketujuh, Protocol to Amend Indonesia-Pakistan PTA (IP-PTA), yang disampaikan kepada DPR pada 30 April 2018.
Menurut Darmin, ada beberapa potensi kerugian bila Indonesia tidak meratifikasi tujuh PPI tersebut. Misalnya pada perjanjian AANZFTA, akan ada dua kerugian, yaitu, pertama 11 parties akan menolak SKA (versi lama) sehingga produk Indonesia tidak dapat memanfaatkan preferensi tarif dalam AANZFTA.
Kedua, ujarnya, sejak AANZFTA berlaku, Indonesia termasuk beneficiary utama. Ekspor ke Australia yang menggunakan fasilitas AANZFTA mencapai 73,6% atau 1,76 miliar dolar AS dari total ekspor ke Australia senilai 2,35 milyar dolar AS pada 2017.
Kemudian pada perjanjian AITISA, Indonesia tidak dapat mengakses pasar tenaga profesional di sektor konstruksi, travel, komunikasi, jasa bisnis lainnya (posisi high & middle management), dan jasa rekreasi yang menjadi keunggulan Indonesia vis a vis India.
“Lalu, Indonesia dapat disengketakan karena tidak menerapkan prinsip transparansi, tidak menurunkan biaya transaksi, tidak dapat memberikan kepastian kode HS yang dikomitmenkan sebagai hasil perundingan (HS 2007 ke HS 2012), jika tidak meratifikasi perjanjian AKFTA,” papar Darmin Nasution. (Indra DH)