Suara Karya

Ini 10 Problematika Fundamental RUU Sisdiknas, Masyarakat Perlu Tahu!

JAKARTA (Suara Karya): Direktur Bidang Pendidikan Vox Populi Indonesia, Indra Charismiadji menyebut ada 10 problematika fundamental dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Sisdiknas versi Agustus 2022.

“Jika ditelaah secara mendalam, RUU Sisdiknas justru akan membawa pendidikan Indonesia ke jurang kehancuran. Karena pola pikirnya terbolak-balik,” kata Indra dalam sebuah kesempatan, di Jakarta, Selasa (20/9/22).

Pertama, miskonsepsi tentang Wajib Belajar dalam draft RUU Sisdiknas versi Agustus 2022 pada Pasal 1 ayat 13 dikatakan, Wajib Belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti warga negara Indonesia.

“Dari konsepnya saja sudah salah.
Coba bandingkan dengan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, pada Pasal 1 ayat 18 bahwa
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus diikuti oleh Warga Negara Indonesia atas tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah,” tuturnya.

Menurut Indra, penyusun RUU Sisdiknas salah mengartikan konsep Wajib Belajar menjadi kewajiban orang tua untuk menyekolahkan anak-anaknya dan ikut menanggung biayanya. Padahal, negara seharusnya menyediakan akses pelayanan pendidikan tersebut.

Kedua, penghapusan peran aktif masyarakat dalam Sistem Pendidikan Nasional. Hal itu terlihat dengan dibubarkannya Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.

“Membentuk distrik sekolah dapat menjadi salah satu alternatif atas kebijakan itu,” ujarnya.

Ketiga, tidak kajian akademis yang komprehensif tentang problematika dan kondisi pendidikan Indonesia saat ini dan solusi nyata yang ditawarkan.
Naskah akademik hanya mengambil potongan-potongan pikiran dari beberapa tokoh yang hanya diarahkan untuk melegitimasi program-program Kemdikbudristek sendiri.

“Bahkan Profil Pelajar Pancasila bukan merupakan turunan eksplisit dari sila-sila Pancasila,” ucapnya.

Keempat, Sistem Pendidikan Nasional yang disusun condong ke Sistem Persekolahan Nasional. Harusnya antara pendidikan di rumah, sekolah, dan masyarakat harus seimbang.

“Pendidikan rumah dan masyarakat harus lebih banyak ditingkatkan porsi dan implementasi nyatanya,” kata Indra.

Ia mengusulkan pembukaan charter school (sekolah piagam) yaitu sekolah yang dikelola masyarakat tetapi biaya 100 persen ditanggung negara.

Upaya lain menjadikan sekolah negeri sebagai sekolah negara dan statusnya menjadi satuan kerja instansi pemerintah (satker) sehingga tidak perlu diberi dana BOS tapi 100 persen biaya operasional menjadi tanggungan pemerintah.

Kelima, tidak ada upaya nyata untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia seperti rekomendasi lembaga-lembaga kajian internasional. Misalkan, rekomendasi untuk meningkatkan prestasi belajar dengan meningkatkan kualitas mengajar (OECD).

“Buat kebijakan yang memperkuat implementasi 8 Standar Nasional Pendidikan. Bukan malah dipersempit menjadi tiga seperti saat ini,” katanya.

Keenam, meningkatkan kualitas siswa yang terjun ke dalam profesi mengajar dan kualitas pelatihan pra-mengajar. Menyediakan program mentoring yang secara terus-menerus memperbaiki kualitas belajar dan mengajar.

“Dan memastikan keberhasilan implementasi kurikulum pendidikan yang baru (K13) melalui guru sebagai agen utama kurikulum,” katanya.

Selain membuat profesi guru semakin atraktif, gunamenarik para kandidat yang lebih baik. Meningkatkan kualitas pelatihan guru dengan menitikberatkan pada pengembangan kompetensi guru.

Ketujuh, Sistem Pendidikan Nasional masih Multi Sistem dan bertentangan dengan amanat Konstitusi. Dalam Perpres No 104 Tahun 2021 masih menunjukkan anggaran pendidikan tidak pernah masuk dalam Sistem Pendidikan Nasional.

Kedelapan, tidak transparan dalam penyusunan RUU Sisdiknas dari pemerintah. Harusnya dibentuk Panitia/Kelompok Kerja Nasional yang isinya pakar pendidikan, tokoh pendidikan, perwakilan masyarakat daerah, akademisi, organisasi profesi, organisasi masyarakat, organisasi keagamaan, perwakilan etnis, perwakilan kelompok / golongan, organisasi pelajar & mahasiswa, pemerintah (pusat dan daerah).

Kesembilan, tidak ada pelibatan publik yang bermakna. Kemdikbudristek justru sibuk membuat meme, flyer, postingan medsos, menggunakan influencer, membuat video penjelasan, hadir di diskusi RUU Sisdiknas untuk kalangan yang mendukung saja.

Beri akses juga bagi pihak-pihak yang mengkritisi naskah akademik dan draf UU Sisdiknas yang dibuat pemerintah. Dipertimbangkan pendapatnya, khususnya untuk para pakar dan tokoh pendidikan.

“Dengan memperoleh penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained) bagi seluruh rakyat Indonesia,” katanya.

Dan kesepuluh, hingga kini belum ada Cetak Biru/Grand Design Pendidikan Indonesia. Hal itu dibutuhkan sebagai dasar dalam penyusunan RUU Sisdiknas. (Tri Wahyuni)

Related posts