
JAKARTA (Suara Karya): Dirjen Pendidikan Vokasi (Diksi) Kemdikbud, Wikan Sakarinto menyebut perubahan dalam Program Pendidikan Kecakapan Kerja (PKK) dan Pendidikan Kecakapan Wirausaha (PKW) tahun ini. Karena itu pahami secara benar, agar calon peserta tak salah saat mendaftar.
“Perubahan itu dibuat agar program dapat memberi hasil optimal,” kata Dirjen Pendidikan Vokasi (Diksi), Kemdikbud, Wikan Sakarinto usai peluncuran PKK dan PKW, Jumat (5/3/2021).
Direktur Kursus dan Pelatihan, Ditjen Diksi Kemdikbud Wartanto menjelaskan, tujuh perubahan dalam PKK dan PKW. Pertama, pelaksanaan program yang tak sesuai ketentuan dalam MoU, maka anggaran yang telah diberikan akan diminta kembali dan lembaga tersebut diblokir.
Disebutkan, pada 2020 lalu ada 418 lembaga penyelenggara yang diblokir karena tidak melaksanakan program sesuai kesepakatan. “Bahkan ada beberapa lembaga yang hingga kini masih diblokir, lantaran belum juga menyelesaikan laporannya. Ketegasan ini penting, agar lembaga menjadi tertib administrasi,” ujarnya.
Kedua, peserta didik pemegang KIP (Kartu Indonesia Pintar) menjadi prioritas penerima PKK jika masih berusia 17-25 tahun. Sedangkan, usia penerima PKW yaitu 15-25 tahun.
“Untuk mengurangi kecurangan, kami telah mengintegrasikan data calon penerima PKK dan PKW dengan data di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), Pusat Data dan Informasi (Pusdatin), dan data penerima Kartu Prakerja. Sehingga tak terjadi tumpang tindih dengan program bantuan pemerintah lainnya,” ujarnya.
Ditambahkan, calon peserta wajib memasukkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan nomor telepon seluler. Khusus untuk usulan mandiri dari peserta didik, calon peserta juga harus mengisi aplikasi usulan “Mau Kursus”.
“Jika usianya diatas 25 tahun, maka sistem akan menolak. Begitu pun jika peserta masih duduk di bangku sekolah dan penerima tahun sebelumnya. Nama peserta yang sudah terdaftar di program Prakerja pun akan ditolak,” tuturnya.
Ketiga, peserta didik wajib mencantumkan nomor telepon seluler untuk kemudahan informasi dan penilaian kesesuaian pelaksanaan yang diberikan penyelenggara.
Keempat, adanya kewajiban untuk melampirkan MoU di aplikasi yang disertai foto industri dan papan nama yang mencantumkan nomor telepon agar mudah untuk diverifikasi. Kemudian, dalam video yang disampaikan wajib menampilkan testimoni dari IDUKA.
Kelima, proposal akan dinilai berdasarkan peringkat oleh sistem. Sedangkan tim verifikator akan menilai keabsahan dokumen, penetapan jam belajar dan standar biaya/anggaran.
“Tidak ada tim penilai, yang ada adalah tim yang akan melakukan verifikasi apakah dokumen tersebut benar atau tidak. Keabsahannya itulah yang akan diverifikasi,” kata Wartanto.
Keenam, pengendalian proses belajar melalui online. Maka setiap proses belajar, wajib menghidupkan pewaktu belajar dari aplikasi dan mematikan waktu selesai belajar maksimal empat jam per hari. Direktorat Kursus dan Pelatihan menyiapkan alat pengendali yang akan memantau aktivitas ini dan memberi teguran jika peserta melanggar ketentuan.
“Jika pewaktu tidak dihidupkan, maka proses pembelajaran hari itu tidak terhitung dalam aplikasi. Konsekuensi dari jam belajar yang kurang, lembaga harus mengembalikan ke pemerintah,” tutur Wartanto seraya menambahkan data uji kompetensi peserta didik akan disinkronkan dengan data di Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).
Ketujuh, calon peserta hanya dapat memilih salah satu program saja antara PKK dan PKW. Jika ditemukan perbedaan alamat pada satu NIK atau jika satu alamat dipakai untuk dua pengusul maka akan tertolak.
Program PKK dan PKW diberikan kepada peserta dengan pendekatan link and match, yaitu untuk menciptakan lulusan program dengan keahlian, keterampilan, karakter, dan daya saing sesuai kebutuhan dunia industri, usaha, dan kerja (IDUKA).
Untuk peserta program PKK tujuannya adalah menciptakan wirausaha baru yang memiliki kemampuan membaca peluang pasar. Sementara itu, program PKW bertujuan untuk mengoptimalkan potensi peluang pasar yang ada di daerahnya masing-masing. (Tri Wahyuni)