JAKARTA (Suara Karya): IPSOS Indonesia memperkenalkan hasil studi terbaru yang diberi nama Indonesia Flair. Studi ini menampilkan penelitian dan pengamatan dari perspektif dan spektrum yang luas untuk menggambarkan kondisi sebuah negara.
Diketahui, IPSOS Flair pertamakali diperkenalkan pada tahun 2005 di Perancis, di mana kantor pusat IPSOS beroperasi sejak lebih dari empat puluh tahun yang lalu. Nama IPSOS Flair dipilih, karena kata ‘Flair’ bisa diartikan sebagai insting, atau intuisi. Flair adalah kemampuan untuk menangkap situasi, untuk mengenali langkah yang tepat, dan tahu saat yang tepat untuk bertindak dan mengambil keputusan.
“Tahun ini, IPSOS Indonesia telah merampungkan studi IPSOS Flair yang memfokuskan diri pada beragam hal tentang Indonesia,” ungkap Managing Director IPSOS Indonesia Soeprapto Tan di Jakarta, Rabu (30/5).
Dikatakan Soeprapto, Indonesia Flair merupakan bagian Studi IPSOS Flair yang baru pertama kali ini dilakukan oleh IPSOS di Indonesia. Indonesia Flair merupakan rangkuman dari pengetahuan dan hasil pengamatan para spesialis di organisasi tersebut seputar aspek moneter, bisnis, pemasaran, pola penggunaan media massa, kebudayaan, hiburan, tayangan di media massa, pariwisata, telekomunikasi serta otomotif, dan ketenagakerjaan.
Menurutnya, banyak temuan menarik dalam studi yang mengamati berbagai aspek ini, yang menggambarkan banyak hal yang serba paradoks atau berlawanan, tengah terjadi di Indonesia, sehingga kami mengambil tema Dealing with The Opposites, untuk Indonesia Flair ini.
“Salah satu hasil pengamatan kami, Indonesia belum berada di posisi yang kuat, meskipun pembangunan infrastruktur terus berlangsung, dan pertumbuhan ekonomi secara positf juga berhasil dicatat. Saat ini, Indonesia berhasil mencatat 40 persen dari GDP di ASEAN, dengan angka kelas menengah yang diharapkan akan semakin bertambah pada tahun 2030,” kata Soeprapto.
Saat ini, GDP per kapita Indonesia berada di urutan ke 107 di dunia, dengan 100 juta dari 260 juta hidup pada atau di bawah garis kemiskinan. Namun, seperti yang ramai dibicarakan di media sosial, jumlah kekayaan empat orang terkaya di Indonesia, ternyata melebihi kekayaan 100 Juta orang termiskin di Indonesia.
Selain itu, menurut pengamatan, Indonesia terus bergerak maju. Demand akan apartemen lebih tinggi dibandingkan demand akan rumah bagi keluarga muda, untuk pertama kalinya di Indonesia, seiring dengan meningkatnya gaya hidup kaum milenial.
Selain itu, angka penjualan kendaraan juga meningkat, seperti di lima negara lainnya di Asia Tenggara (Thailand, Malaysia, Filipina, Vietnam dan Singapura).
Namun pada saat bersamaan, pengelolaan waktu dan dinamika kehidupan di Indonesia juga semakin berubah. Perempuan Indonesia diharapkan untuk dapat beradaptasi dengan bijaksana, untuk dapat memberikan yang terbaik bagi keluarganya.
Jika diamati lanjut Soeprapto, banyak program TV yang membantu mereka untuk memutuskan makanan apa yang harus disajikan untuk keluarganya, maupun untuk dinikmati oleh dirinya sendiri. Program TV tidak saja menampilkan cara memasak masakan favorit, tetapi juga menampilkan pengalaman menikmati tempat makan dengan menu yang menggoda.
Pada kesempatan yang sama, Ketua Aku Cinta Makanan Indonesia (ACMI) Santhi Serad mengungkapkan bagaimana orang-orang Indonesia menikmati kuliner dan beragam sajian hidangan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
“Saat ini lebih banyak orang Indonesia menghargai keberagaman pangan lokal dan lebih mau mengenal Indigineous food dengan mengeksplorasi melalui culinary trip ke berbagai daerah di Indonesia, di tengah gempuran restoran dengan franchise dari luar negeri,” ujarnya.
Untuk diketahui, acara ini juga dihadiri oleh Prime Secretary dari Kedutaan Perancis untuk Indonesia Quentin Biehler dan para spesialis di IPSOS Indonesia yang terlibat dalam pembuatan Indonesia Flair, serta seorang penggiat kuliner khas Indonesia. (Bayu Legianto)