
JAKARTA (Suara Karya): Peringatan Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap 8 Maret menjadi momentum untuk menyuarakan tentang kesetaraan. Tak terkecuali akses pengobatan bagi ribuan pasien kanker payudara, jenis kanker terbanyak pada perempuan.
Pasien kanker payudara, terutama jenis HER2 positif (Human Epidermal Growth Factor Receptor 2) stadium dini hingga kini masih berjuang, agar pengobatan mereka bisa dijamin secara lengkap oleh BPJS Kesehatan. Sebuah perjuangan panjang, yang sampai hari ini masih belum membuahkan hasil.
Dalam webinar bertajuk “Akses Penanganan Kanker Payudara HER2 Positif, Tantangan dan Harapan” yang digelar memperingati Hari Perempuan Internasional itu, terungkap kisah Vani Ely, seorang penyintas kanker payudara HER2 positif stadium dini. Ia beruntung karena dapat penanganan kanker secara komprehensif pada 7 tahun lalu.
Kanker payudara subtipe HER2 positif yang dideritanya merupakan salah satu jenis kanker payudara yang agresif, dan menyerang satu dari 5 pasien kanker payudara di Indonesia .
Karyawati perusahaan swasta itu menjalani kemoterapi dan terapi target trastuzumab, yang membuatnya pulih dari kanker payudara yang diidapnya. Vany kini menjalani kehidupan seperti semula, saat belum didiagnosa terkena kanker payudara.
“Saya beruntung bisa bergabung dengan komunitas pasien CISC (Cancer Information and Support Center). Mereka mengarahkan saya untuk konsultasi ke dokter yang tepat,” ujar perempuan yang kini berusia 48 tahun itu.
Dokter saat itu, lanjut Vany, mendorong dirinya untuk menjalani pemeriksaan lengkap dan terapi yang komprehensif dengan cara kemoterapi dan terapi target trastuzumab. “Sekarang saya sudah sehat kembali, dapat bekerja dan mengurus keluarga dengan maksimal,” ujarnya.
Sayangnya, tak banyak pasien kanker payudara HER2 positif memiliki nasib seberuntung Vany. Sebagian besar dari pasien tak mampu menjangkau pengobatan tersebut. Karena program JKN hanya menjamin trastuzumab untuk pasien stadium lanjut.
Kondisi itu menjadi ironi, mengingat pengobatan sejak stadium dini harus segera dilakukan, karena memberi peluang sembuh yang lebih besar pada pasien. Sehingga mereka bisa menjadi produktif kembali.
“Saya sangat berharap pasien kanker payudara lainnya bisa seberuntung saya. Pulihnya saya membuktikan bahwa kanker payudara jika ditangani dengan benar, diobati secara optimal sejak stadium dini akan memberi peluang sangat besar untuk sembuh, mencegah memburuknya penyakit dan kekambuhan,” tuturnya.
Ia berharap, program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) bisa menjamin trastuzumab untuk pasien stadium dini. Sehingga mereka bisa kembali menjalankan perannya dalam keluarga dan masyarakat.
Saat ini, trastuzumab untuk kanker payudara HER2 positif dalam program JKN hanya untuk pasien stadium metastasis (stadium lanjut). Dan itu pun dibatasi maksimal 8 siklus.
Padahal, pengobatan terapi target trastuzumab sudah menjadi standar pengobatan untuk kanker payudara HER2 positif stadium dini dan bahkan masuk dalam daftar obat esensial badan kesehatan dunia (WHO).
Tak hanya pasien kanker stadium dini yang mengalami masalah. Meski secara aturan sudah jelas tercantum rincian terapi dan obat apa saja yang masuk dalam BPJS, pada prakteknya ternyata belum tentu akses terhadap terapi itu benar-benar bisa direalisasikan.
Tantangan itu dihadapi Sartini (44 tahun), seorang pasien kanker payudara stadium lanjut dari Yogyakarta. Sartini baru saja mendapat pengalaman pahit saat harus mengakses pengobatan memakai BPJS Kesehatan, akibat implementasi kebijakan yang berbeda-beda di setiap daerah.
Sartini didiagnosis kanker payudara HER2 positif stadium 3 sejak 2019. Bulan lalu terdiagnosis metastatik ke hati. Dokter merekomendasikan untuk kemoterapi dan terapi target trastuzumab. Ia dapat informasi bahwa trastuzumab tidak bisa diklaim BPJS Kesehatan, karena hanya tersedia untuk stadium metastasis atau stadium 4.
Saat kondisi kankernya mulai bermetastasis, Sartini malah dirujuk ke rumah sakit lain, tapi tetap saja tidak dapat trastuzumab melalui penjaminan BPJS Kesehatan. Karena ada perbedaan implementasi kebijakan BPJS Kesehatan di setiap daerah.
“Dokter bilang, jika mau trastuzumab saya harus ke Solo atau Semarang, katanya di Yogya tidak ada obat di rumah sakitnya. Tapi kalau harus keluar kota, saya nggak kuat. Akibat tak ada trastuzumab, sekarang saya hanya minum obat kemo oral,” ucap Sartini menuturkan.
Ia berharap terapi trastuzumab juga tersedia di Yogyakarta, karena badannya sudah tidak sanggup jika harus bolak-balik ke luar kota. “Karena tak ada trastuzumab, sekarang saya hanya minum obat kemo oral,” ucap Sartini.
Ia berharap ada terapi trastuzumab di Yogyakarta untuk memudahkan pengobatan. Tak hanya bagi Sartini, tetapi pasien kanker payudara HER2 positif lainnya. Tampaknya masih panjang dan berliku perjuangan pasien kanker payudara untuk mendapatkan akses pengobatan di BPJS Kesehatan. (Tri Wahyuni)