JAKARTA (Suara Karya): Ikatan Sarjana Perikanan Indonesia (Ispikani) kembali menggelar webinar guna
melakukan kajian dan pembahasan mendalam untuk menghasilkan suatu rumusan. Ini sebagai sumbangsih pemikiran bagi kesuksesan pembangunan nasional di sektor perikanan, termasuk perikanan tangkap.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Ispikani Kusdiantoro mengatakan, guna menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka atau Indonesia Emas 2045, organisasi tetsevut menyiapkan konsep pembangunan perikanan yang diharapkan dapat menjadikan sektor perikanan sebagai prime mover pembangunan ekonomi nasional.
Upaya ini diharapkan dapat mendorong ketahanan pangan, pertumbuhan ekonomi, penyiapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan dan kelestarian lingkungan.
“Untuk menyiapkan konsep tersebut, kami menggelar webinar series Menuju Perikanan Emas 2045, yang melibatkan seluruh stakeholders perikanan sehingga diharapkan dapat menghasilkan blue print pembangunan perikanan untuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP),” kata Kusdiantoro di Jakarta, Minggu (11/9/2022).
Munurut dia, dokumen ini sebagai legacy Ispikani bagi para pengambil kebijakan perikanan. Gagasan besar ini telah diinisiasi oleh para dewan profesi dan pakar Ispikani sejak awal 2022.
Dia menegaskan, webinar kali ini mengambil tema pengelolaan Sub Sektor Perikanan Tangkap Secara Terukur dan Berkelanjutan untuk Kesejahteraan. Kegiatan kali ini merupakan hasil kerja sama Ispikani dengan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), yang dibuka oleh Sekretaris Jenderal Ispikani Kusdiantoro, Jumat (9/9/2022).
“Perkembangan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap selalu menarik untuk disimak. Selama ini pembangunan perikanan tangkap telah memberikan dampak positif terhadap ekonomi, tetapi juga tidak dapat kita pungkiri dapat menimbulkan dampak negatif berupa tekanan terhadap lingkungan apabila tidak dikelola dengan prinsip kehati-hatian dan berkelanjutan,” ujar Kusdiantoro.
Lebih lanjut dia mengatakan, selama ini Ispikani melihat pembangunan perikanan tangkap tidak terlepas dari dua permasalahan utama, yaitu overfishing dan overcapacity sebagai dual crisis yang berimplikasi serius terhadap aspek sosial dan ekonomi serta ekologi.
Ia mengatakan, perkembangan perikanan tangkap Indonesia sangat dinamis, karena Indonesia memiliki beberapa karakteristik, seperti multi spesiesnya Sumber Daya Ikan (SDI) dan keanekaragaman tinggi alat tangkapnya.
Di samping itu, sebagian besar kegiatan perikanan tangkap masih didominasi nelayan skala kecil, yaitu hampir 94% yang merupakan nelayan dengan armada kurang dari 10 GT, bahkan 68,42% di antaranya merupakan perahu tanpa motor dan motor tempel.
Kondisi ini membuat nelayan selalu identik dengan kemiskinan dan selalu kalah bersaing dengan kapal besar dalam pemanfaatan SDI. Karakteristik tersebut membuat pengelolaan perikanan tangkap sangat berbeda dibandingkan di beberapa negara maju.
Untuk itu, dibutuhkan sebuah pendekatan secara komperhensif dalam merumuskan pengelolaan perikanan tangkap. Baru-baru ini adanya kebijakan menaikan BBM, terutama solar dari Rp5.100 menjadi Rp6.800 telah berdampak secara signifikan terhadap kegiatan penangkapan ikan, karena solar men-cover 60% dari biaya operasional melaut sehingga diperlukan langkah terobosan untuk mengatasi masalah ini.
“Dalam pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan, mestinya harus selalu senantiasa mengacu pada tiga hal, yaitu status stok, pengaturan yang efektif, dan membuat bisnis proses yang berkelanjutan. Perikanan tangkap terukur harus dilakukan melalui sebuah proses yang terukur melalui sebuah tata kelola perikanan yang baik, salah satunya melalui pendekatan perikanan inklusif. Keanggotaan Indonesia dalam Regional Fisheries Management Organization (RFMO), seperti IOTC, CCSBT juga harus lebih dioptimalkan, armada penangkapan ikan Indonesia harus lebih didorong untuk memanfaatkan kuota yang telah diterima Indonesia,” ujarnya.
Menurutnya, konsep pemanfaatan dan pengelolaan SDI dilakukan secara bertanggungjawab pada hakekatnya telah dikukuhkan melalui sebuah acuan yang telah disepakati negara-negara anggota FAO sejak 1995, yaitu the Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
Artinya perikanan berkelanjutan dapat dicapai melalui pengelolaan perikanan secara tepat dan efektif yang ditandai dengan meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan manusia serta terjaganya kelestarian SDI bersama kesehatan ekosistemnya. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa dalam pembangunan perikanan tangkap harus menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan sosial dengan keberlanjutan ekologi. (Bayu)