JAKARTA (Suara Karya): Kampanye negatif soal kelapa sawit yang digulirkan negara-negara Barat sudah waktunya dilawan. Karena, sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, komoditas tersebut bisa menjadi kekuatan Indonesia di masa depan.
Hal itu mengemuka dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Yayasan Pusat Pentaheliks Ilmuwan Pertanian Indonesia dan didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), di Bogor, Jawa Barat, Kamis (2/11/23).
Kampanye negatif soal minyak sawit, menurut Ketua Umum Yayasan Pusat Pentaheliks Ilmuwan Pertanian Indonesia, Dr Ir
Paristiyanti Nurwardani, karena keunggulan minyak sawit dianggap mengganggu eksistensi dari minyak nabati lainnya.
“Isu yang sering diangkat dalam kampanye negatif soal sawit adalah kesehatan, lingkungan dan sosial. Kampanye negatif itu sendiri berhasil membuat stigma negatif pada sebagian masyarakat Indonesia dan dunia,” ujarnya.
Apalagi jika isu minyak sawit dikaitkan dengan gangguan kesehatan. Kampanye negatif menyebut minyak sawit menyebabkan kolesterol dan diabetes. Padahal, faktanya tidak seperti itu.
Dampak dari kampanye negatif soal sawit, menimbulkan hambatan perdagangan. Banyak produk buatan Indonesia ditolak, lantaran menggunakan minyak sawit.
“Melalui kampanye minyak sawit itu baik, kami ingin mengajak anak muda untuk tidak termakan kampanye negatif soal minyak sawit. Informasi ini bisa digaungkan lewat media sosial masing-masing,” ujarnya.
Jika kampanye negatif soal sawit tidak dilawan, Paris menegaskan, hal itu akan merugikan industri kelapa sawit di Tanah Air, baik secara jangka pendek maupun jangka panjang.
“Apalagi, devisa negara dari penjualan minyak sawit tidak main-main, mencapai Rp600 triliun per tahun,” ucap Paris.
Kampanye #sawitbaik, menurut Paris, bisa dilakukan melalui jalur pendidikan. Menanamkan sikap positif terhadap sawit harus dilakukan tenaga pendidikan kepada anak sejak dini.
Tenaga pendidik yang dimaksud, terdiri dari guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lainnya.
“Kami senang Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK), Kemdikbudristek hadir sebagai narasumber. Dan kampanye soal sawit itu baik lewat jalur pendidikan dimungkinkan,” katanya.
Kampanye akan diperluas, karena
Yayasan Pusat Pentaheliks Ilmuwan Pertanian Indonesia berteman dengan 47 dekan pertanian di seluruh indonesia, komunitas pondok pesantren, organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, dan kampus swasta di Indonesia.
Pada kesempatan yang samaUpstream Land Consultant PT Agro Harapan Lestari, Yunita Sidauruk menjelaskan, potensi minyak sawit sebagau sumber ekonomi Indonesia di masa depan.
Saat ini kontribusi kelapa sawit, menurut data OJK, di sepanjang mata rantai distribusi dari hulu hingga hilir yang mencapai 6-7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
“Total produksi minyak sawit mencapai 47,4 juta ton pada tahun 2018, dengan komposisi ekspor mencapai angka 80,7 persen dari total produksi komoditas ini,” ujar Yunita.
Ekspor kelapa sawit Indonesia secara keseluruhan (CPO dan produk turunannya, biodiesel, dan oleochemical) mengalami kenaikan sekitar 8 persen atau dari 32,18 juta ton pada 2017 meningkat menjadi 34,71 juta ton pada 2018.
Peningkatan paling signifikan secara persentase dicatatkan oleh biodiesel Indonesia yaitu sekitar 851 persen, atau dari 164 ribu ton pada 2017 menjadi 1,56 juta ton pada 2018.
Komoditas kelapa sawit juga berperan penting dalam mendorong penggunaan energi baru dan terbarukan, melalui pelaksanaan program mandatory biodsiesel berbasis kelapa sawit sejak 2015.
“Melalui program itu, pemerintah melakukan penghematan devisa hingga Rp122,65 triliun dan berkontribusi dalam mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 27,8 juta ton CO2,” ujarnya.
Salah seorang pembicara dalam FGD yaitu Prof Dr Bustanul Arifin, selaku Komite Litbang BPDP-KS dan dosen pascasarjana SB-IPB, mengatakan, strategi membangun reputasi sawit Indonesia ada enam.
Disebutkan, antara lain kecermatan dalam penetapan keputusan kebijakan di dalam negeri, adanya konsumsi biodiesel sawit Uni Eropa yang cenderung turun jika gugatan Indonesia ke Uni Eropa tidak dikabulkan dalam sidang WTO.
Strategi lainnya adalah pencarian pasar CPO baru di Asia Timur, Asia Tengah dan lain-lain, pendampingan dan pemberdayaan petani untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, promosi kelapa sawit sebagai investasi masa depan, benchmark untuk membangun diplomasi “sawit baik” melalui benchmark kepada Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IE CEPA). (Tri Wahyuni)