Suara Karya

Jadi Social Enterpreuner Kini Butuh Ilmu, Tak Cukup Semangat

JAKARTA (Suara Karya): Menjadi seorang social entrepreuner kini tak cukup modal semangat, tetapi juga harus punya ilmu. Apalagi saat ini, donatur semakin langka. Perlu ada perencanaan program yang kuat, agar donatur mau berkolaborasi.

“Di masa lalu, modal semangat saja kita bisa cari uang Rp4-5 miliar dengan mudah. Sekarang tidak bisa lagi, harus tahu ilmunya agar donatur tertarik,” kata Pendiri sekaligus Ketua Program Magister Manajemen (MM) Sustainability dan MM Community Enterprise Universitas Trisakti, Maria R Nindita Radyat di Jakarta, Jumat (7/12/2018).

Dalam kegiatan Center for Entrepreneurship, Change, and Third Sector (CECT) Sustainability Award 2018, perempuan yang akrab dipanggil Nita itu menambahkan, social entrepreneur berbeda di masing-masing negara. Misalkan, Amerika. Social entrepeunernya tumbuh dari kalangan kaya. Di Inggris, dari komunitas yang bergabung membentuk koperasi.

“Di Indonesia agak berbeda, social entrepeunernya lahir dari kalangan bawah dan atas. Dari bawah lewat pembentukan lembaga swadaya masyarakat (LSM), sedangkan dari atas dari para pengusaha. Tapi jumlahnya tak banyak, hanya 10 persen,” ujarnya.

Melihat perkembangan itu, lanjut Nita, Universitas Trisakti mengembangkan program pascasarjana S-2, khusus untuk mereka yang berminat pada bidang social entrepreuner. Dengan harapan saat tak ada lagi donatur yang kasih uang, para social entrepreuner tetap bisa membuat kegiatan sosial yang di masyarakat.

“Peminat program S-2 MM Suistainability maupun Community Enterprise Usakti cukup tinggi. Setiap angkatan ada pendaftar sekitar 30 orang. Tetapi kami hanya menerima 15 orang. Peminat terbesar kebanyakan dengan latar belakang LSM,” ujarnya.

Karena kalangan LSM atau non-governmental organization (NGO) itulah yang banyak yang membutuhkan ilmu bagaimana mengakses dana untuk mempertahankan kegiatan sosialnya. Bagaimana membuat donatur tertarik dengan kegiatan sosial tersebut.

Menurut Maria para social entrepreneur sudah memiliki gagasan atau inovasi untuk menyelesaikan persoalan sosial di lingkungan masing-masing. Hanya saja kebiasaan aktivis LSM cenderung berbeda dengan kalangan bisnis.

’’Orang LSM ingin cepat-cepat melakukan pekerjaan, tetapi perencanaannya kurang cermat. Akhirnya mengalami kesulitan di tengah. Donatur pun tak menarik bantuannya. Lewat kuliah ini, para social entrepreneur akan mendapat bekal ilmu manajemen dan bisnis,” ujarnya.

Selain itu Maria menambahkan, pihaknya juga mempertemukan para social entrepreneur dengan perusahaan pemilik dana CSR. Sehingga terjadi kolaborasi antara keduanya. Perusahaan dapat menjalankan bisnis secara inklusif, lewat program CSR yang dijalankan oleh LSM terpercaya.

Hadir dalam kesempatan itu, praktisi CSR Jalal, social entrepreuner Tony M Simmonds, dan Wakil dari perusahaan fashion H&M, Anya Sapphira. (Tri Wahyuni)

Related posts