Jeritan dan Penantian Panjang Guru Honorer

0

Oleh:  Rusdianto Samawa

Direktur Global Base Review (GBR)

Ungkapan Luky seakan menyayat hati. Sanubari kita tergugah ketika guru honorer mencoba untuk bisa meraih keadilan. Luky dan ribuan rekan seprofesinya berharap pemerintah lebih memperhatikan nasib mereka, khususnya untuk merealisasikan janji  kampanye Presiden Joko Widodo saat itu, yang bertahap akan menjadikan mereka sebagai pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN)

Luky harap-harap cemas, hanya tak ingin ada perbedaan antara guru karena beban mengajar hampir sama. Bahkan ada guru honorer yang jam mengajarnya lebih banyak dari pada ASN. Miris bukan?.

Dia meminta, semoga pemerintah lebih memperhatikan guru honorer, dan harapan untuk menjadi ASN pasti tetap ada.

Argumentasi Luky di dukung oleh Firman Gifari dan Sumiatun Nisa Puspitasari sebagai Duta Guru Honorer yang berasal dari Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka berharap banyak, bahwa menjadi guru merupakan pilihan mulia. Tak sembarang orang bisa menjadi guru. Terutama guru yang memiliki dedikasi pada dunia pendidikan, yang jiwa dan raganya tertambat pada anak-anak yang membutuhkan pencerahan.

Di tengah aksi demonstrasi yang dilakukan ribuan guru honorer sejak Selasa (30/10/2018) di depan Istana Negara, Jakarta, Firman berujar dari sisi kesejahteraan guru honorer seperti dirinya jauh dari kata layak hidup, pahlawan tanpa tanda jasa itu berpenghasilan di bawah buruh pabrik.

Seharusnya, pemerintah harus melihat perjuangan guru honor saat ini. Semoga ada jaminan yang nyata dari pemerintah bagi kesejahteraan mereka.

Di tempat yang sama, Itta Purnamasari yang sudah mengajar lebih puluhan tahun dengan beban keluarga yang sangat besar. Tentu sangat berharap kepada pemerintah agar memperhatikan guru honorer sebaik mungkin.

Itta yang memiliki pandangan, guru adalah seseorang yang memiliki tekad kuat untuk berjuang saat ini demo dan demi mencerdaskan anak-anak bangsa. Upaya itu, tentu harus selaras dengan peningkatan martabat dan kesejahteraan guru.

Namun, impian keluarga memiliki hidup layak sepertinya masih jauh dari harapan guru-guru honorer di Republik ini. Terutama Nusa Tenggara Barat. Melalui diskusi kecil, sambil meminum air putih mineral setelah melahap bakso dibilangan Monas, Jakarta.

Dia juga menceritakan, kisah perjalanan jauh setiap hari harus mengajar: “dulu saya masih single (belum berkeluarga) pernah mengajar di Labangka lima Kecamatan Labangka Kabupaten Sumbawa, perjalanan saat itu, menuju ke tempat tugas mengajar hampir 5 kilo meter itu berjalan kaki sejauh itu.” Ungkapnya sambil meneteskan air mata mengenang dedikasinya yang saat itu hanya 50ribu dapatnya dalam sebulan.

Pada akhirnya, Itta memutuskan untuk menikah di Labangka sesama Sasak, lalu pindah ke Lombok Timur tahun 1999, mencoba mengajar lagi di Labuhan Haji. Namun, kurang lebih sama penghasilan, walaupun ada peningkatan 150ribu.

Sementara kakak mu (Suami Itta) bekerja serabutan. Kami terus coba bertahan hingga saat ini. Belum juga ada nasib. Demikian Ibu Itta berkisah sambil mengusap air mata pahlawannya dengan handuk kecilnya penutup kepala.

Itta juga berusaha tegas, tegar dan kuat, semoga Presiden kali ini perhatikan nasib kami. Itta berulangkali ucapkan harapnnya, sebagai guru di daerah terpencil seharusnya kami mendapatkan upah tunjangan daerah khusus. Namun sampai saat ini belum pernah medapatkannya, padahal yang menjadi syarat untuk mendapatkan tunjangan tersebut hanya dengan memiliki NUPTK dan jumlah jam mengajar yang cukup.

Penderitaan serupa juga dirasakan Fitrah Mulyadi. Guru honor asal Jawa Tengah ini seakan sudah putus asa dengan penghasilan yang didapatkan sebagai guru honor. Karena untuk kebutuhan makan setiap hari saja, honor guru tidak mencukupi dan terpaksa Fitrah harus mengambil pekerjaan serabutan lainnya agar bisa tetap menghidupi keluarga.

Meski demikian, mereka masih sangat berharap akan ada angin segar yang diberikan pemeribtah kepada mereka. Tetapi bukan hanya berjanji lagi.

Akhirnya Guru Honorer harus diselamatkan, karena banyak yang terpental dan tak kuat menahan beban. Tak sanggup mengikuti lamanya pengangkatan. Mereka akhirnya menyerah dan tinggalkan profesinya sebagai guru. Sebab, membutuhkan kehidupan yang layak.

Tak salah jika setiap tahun, guru-guru tersebut menuntut agar diperhatikan pemerintah. Tuntutan demi tuntutan disuarakan agar mereka mendapatkan hidup yang lebih baik.***