Jojobajobs, Bantu Lulusan SMK Cari Pekerjaan

0

JAKARTA (Suara Karya): Bagi lulusan sekolah menengah kejuruan(SMK) yang lagi bingung bagaimana cara melamar pekerjaan, ada kok cara mudah untuk itu. Cukup unduh aplikasi Jojobajobs di app store. Tak hanya menyediakan contoh curriculum vitae (CV) yang bisa dicontek, tapi juga bisa ikut tes psikometrik untuk menilai pekerjaan yang cocok.

“Dan yang terpenting, aplikasi ini juga memuat ribuan lowongan pekerjaan yang pas untuk lulusan SMK,” kata pendiri sekaligus CEO (Chief Executive Officer) Jojobajobs, Andreas Setiadi kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (14/3/2019).

Dalam kesempatan itu, Andreas didampingi pendiri Jojobajobs lainnya, yaitu Kevin Wong dan psikolog industri dan organisasi, Ade Hanie.

Andreas menjelaskan keistimewaan Jojobajobs dibanding situs pencari kerja lain karena berisi fitur-fitur canggih yang mendukung para lulusan SMK dalam meningkatkak kompetensinya. Ada fitur e-learning yang terkoneksi dengan Scola yang menjadi flatform belajar online.

“Melalui e-learning ini, kami ingin bantu pencari kerja untuk mengembangkan soft skill dan hard skill-nya. Pembuatan modul pembelajarannya juga disesuaikan dengan kebutuhan dunia usaha,” katanya.

Penyediaan fitur e-learning, Andreas berharap bisa menjadi jembatan atas beberapa proses pembelajaran yang belum terfasilitasi semasa sekolah. Fitur tersebut dapat diakses dengan mudah, kapan dan dimana saja.

“Metode belajar yang menarik dan kontekstual dengan dunia kerja adalah salah satu keunggulan e-learning Jojoba. Pencari kerja juga bisa ikut kuis untuk evaluasi atas materi yang dipelajari,” kata Andreas seraya menambahkan Jojoba telah diluncurkan sejak 2017 lalu.

Yang menarik dalam Jojoba, kata Andreas, tersedianya fitur CV Download. Penulisan CV yang tepat memainkan peran penting atas peluang diterima dunia kerja. Karena CV merupakan pemberi kesan pertama bagi para pencari kerja.

“Fitur CV ini dibuat atas permintaan para pencari kerja melalui riset yang dilakukan Jojoba. CV menjadi lebih terstruktur dalam merangkum data diri. Hal itu akan memberi kesan positif terhadap pencari kerja,” katanya.

Untuk menggunakan semua fitur itu, Andreas mengakui, pencari kerja dikenakan biaya Rp25 ribu. Biaya itu terbilang tidak besar jika dikaitkan dengan peluang kerja yang ada. Mengingat lebih dari 400 perusahaan baik kecil, menengah dan besar yang bergabung sebagai anggota.

“Ada cashback sebesar 80 persen jika peserta mengisi profil dan CV hingga tes psikometrik. Cashback ini diberikan sebagai komitmen terhadap pencari kerja atas keseriusannya dalam berusaha,” tuturnya.

Melalui Jojoba, Andreas berharap dapat membantu pemerintah dalam menanggulangi masalah pengangguran. Aplikasi itu juga dapat digunakan sebagai alat rekrutmen yang efektif dan efisien bagi lulusan SMK. Terutama pada fitur tes psikometrik yang tingkat keakuratannya mendekati 100 persen.

Tes psikometrik dibuat untuk mengukur kompetensi perilaku dari pencari kerja. Tes itu dapat mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari masing-masing peserta. Dengan demikian, perusahaan dapat sumber daya manusia yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan.

Hal senada dikemukan Ade Hanie. Ia memaparkan hasil tes psikometrik yang dilakukan Jojoba sejak 2017 lalu. Rerata lulusan SMK lemah pada 12 kompetensi soft skill. Terutama pada perencanaan, evaluasi, kemampuan kepemimpinan, komunikasi bersama, kemampuan mempengaruhi orang lain.

“Jadi lulusan SMK kita kurang percaya diri. Mengapa? Karena sekolah jarang bereksplorasi. Sekolah masih berpikir industri akan menerima SDM dilihat dari nilai akademis, padahal tidak seperti itu,” tuturnya.

Hasil tes psikometrik juga menunjukkan, lulusan SMK lebih tertarik pada pekerjaan administrasi, office, sales. Meskipun ada juga yang tertarik dengan teknologi informasi (TI).

Ade menambahkan, hasil tes psikometrik bisa dianalogikan sebagai sebuah peta untuk pencari kerja. Dengan adanya peta, pencari kerja akan mengetahui posisi mereka saat ini. Peta itu bisa digunakan untuk pengembangan diri agar lebih mudah mendapat pekerjaan.

Ade sempat menyayangkan model pembelajaran di SMK yang lebih mengandalkan nilai akademis ketimbang keahlian. Karena sebagai sekolah vokasional mestinya yang diajarkan lebih banyak praktik kerja dan bukan teori atau prediksi.

“Lulusan SMK ini rata-rata usianya 17-18 tahun. Banyak perusahaan mengeluh menghadapi karyawan di usia itu. Karena menghadapi lulusan perguruan tinggi saja susah, apalagi anak baru gede. Intensitas gonta ganti pekerjaan sangat tinggi. Sulit untuk pengelolaan SDM jangka panjang,” kata Ade menandaskan. (Tri Wahyuni)