JAKARTA (Suara Karya): Anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Agun Gunandjar Sudarsa mengingatkan hakim Mahkamah Konstitusi agar tidak menafsirkan secara bebas atas substansi pasal-pasal UUD 1945. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin tegaknya supremasi hukum (konstitusi).
Dia mengatakan hal itu, menanggapi langkah Wakil Presiden, M. Jusuf Kalla mengajukan diri bersama Partai Perindo sebagai pihak terkait dalam uji materi pasal 169 huruf n UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kepada MK, khususnya terkait syarat pencalonan wakil presiden.
“UUD 1945 memberi kewenangan kepada MK sebagaimana dirumuskan dalam pasal 24C, menguji UU yang putusannya bersifat final dan mengikat. MK dalam menjalankan kewenangannya, juga diwajibkan untuk tunduk, patuh dan mengikatkan diri kepada konstitusi. Karena yang supreme itu UUD 1945 bukan lembaga MK, sehingga tidak bisa dan tidak dibenarkan para hakim MK membuat penafsiran bebas atas subtansi pasal-pasal UUD 1945,” ujar anggota DPR dari Fraksi Golkar, dalam siaran persnya yang diterima Suarakarya.co.id, Minggu (29/7).
Dia mengatakan, MK dan para hakimnya, harus tetap berpegang pada pasal-pasal dalam UUD 1945 dalam pengujian kali ini berdasar kepada pasal 7 UUD 1945, yang sebelum perubahan rumusannya presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
“Lalu diubah menjadi presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan,” katanya.
Untuk mendalami aturan pasal 7 yang sudah berubah tersebut, mengulangi kembali dan membaca buku Risalah Perubahan UUD NRI 1945, tahun sidang 1999 yang diterbitkan Sekretariat Jenderal MPR RI tahun 2008. Ketika itu dirinya merupakan salah seorang anggota tim penyusunnya.
Alhasil, papar Agun, dalam risalah rapat tim perumus PAH III BP MPR tanggal 9-10 Oktober 1999, tergambarkan pikiran-pikiran argumentatif tentang berturut-turut, cukup sepuluh tahun sampai ada pemikiran ke arah setelah dua masa jabatan untuk diperkenankan kembali dengan alasan tertentu.
Namun pada akhirnya pikiran tersebut ditarik dan menerima usulan alternatif pertama yang rumusannya berasal dari Tap MPR No XIII tahun 1998.
“Yakni presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan,” ujarnya.
Pembahasan berlanjut di Pleno PAH III, Pleno Badan Pekerja, hingga pelaksanaan Sidang Umum MPR pada 14-21 Oktober 1999.
Materi perubahan UUD 1945 dibahas di Komisi C MPR dan semua rancangan perubahan pertama UUD 1945, termasuk perubahan pasal 7 dapat disetujui untuk disahkan tanpa melalui pemungutan suara.
“Proses hukum harus dihargai, hak warga negara juga harus tetap dibuka, namun supremasi hukum di atas segalanya, ” kata anggota Komisi III DPR ini. (Sugandi)