
JAKARTA (Suara Karya): Perguruan tinggi terakreditasi A dan B kini bisa buka program studi (prodi) baru, meski belum ada dalam nomenklaturnya. Bahkan dijamin proses administrasi tidak ribet, asalkan mampu melampirkan syarat administrasi yang dibutuhkan.
“Di masa lalu, hanya perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN-BH) yang boleh buka prodi baru yang belum ada nomenklaturnya. Dalam kebijakan Kampus Merdeka, hal itu bisa dilakukan oleh kampus terakreditasi A dan B,” kata Direktur Kelembagaan, Ridwan dalam jumpa pers virtual, Senin (18/5/20).
Hadir dalam kesempatan itu, Sekretaris Ditjen Dikti Paristiyanti Nurwardani, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Aris Junaidi dan Direktur Sumber Daya M Sofwan Effendi.
Ketentuan baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 7 tahun 2020 tentang Pendirian, Perubahan, Pembubaran Perguruan Tinggi Negeri, dan Pendirian, Perubahan, Pencabutan Izin Perguruan Tinggi Swasta. Selain juga mengatur ketentuan tentang pembukaan program studi oleh perguruan tinggi Indonesia.
Ridwan menyebut sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh kampus terakreditas A dan B yang mau buka prodi baru yang belum ada nomenklaturnya. Pengajuan usulan nama prodi baru itu dapat dialamatkan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk mendapat persetujuan langsung.
“Dan yang terpenting adalah kampus harus melampirkan bukti kerja sama dengan organisasi atau industri tertentu untuk mendukung capaian pembelajaran tersebut. Penegasan terkait kesanggupan mereka menerima mahasiswa dari prodi baru tersebut untuk magang dan bekerja setelah lulus.
“Jika kampus dengan organisasi dan industri tidak bisa memenuhi dua syarat itu, yaitu praktik kerja industri atau magang dan kesempatan bekerja maka izin tidak bisa diberikan. Dua syarat itu merupakan ‘harga mati’ dalam program ini,” ucap Ridwan.
Karena itu, lanjut Ridwan, skema pembukaan prodi baru tanpa nomenklatur ini bersifat ‘in and out’. Artinya, jika organisasi atau industri sudah tidak berminat lagi untuk melanjutkan kerja sama, maka prodi baru tersebut akan ditutup.
“Program ini sifatnya sangat fleksibel. Jika ingin dilanjutkan lagi, maka kampus harus bisa mencari organisasi atau industri lainnya. Yang penting mahasiswa punya tempat praktik kerja industri, magang atau penyaluran bekerja setelah mereka lulus,” kata Ridwan menegaskan.
Disebutkan, organisasi atau lembaga serta industri yang dimaksud adalah perusahaan multinasional, perusahaan teknologi global, perusahaan startup teknologi, organisasi nirlaba kelas dunia, institusi/organisasi multilateral, perguruan tinggi masuk dalam peringkat 100 terbaik dunia serta badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah.
“Diluar kategori yang disebutkan diatas tidak bisa masuk dalam program tersebut. Organisasi nirlaba kelas dunia yang dimaksud, antara lain badan kesehatan dunia (WHO), bank dunia (World Bank), atau Badan Pangan Sedunia (FAO),” tuturnya.
Ridwan kembali menegaskan, pola kerja sama itu dimungkinkan untuk program studi baik di bidang STEM ( Science, Technology, Engineering and Mathematics) maupun di bidang non-STEM, sesuai pengembangan kurikulum yang disepakati bersama organisasi atau lembaga mitra.
Ditambahkan, untuk memperkuat pelaksanaan di lapangan, kurikulum disusun bersama antara kampus dengan pihak kedua. Termasuk komposisi dosen yang akan terlibat dalam prodi baru tersebut. Dengan demikian keterlibatan lembaga mitra dalam penyelenggaraan program studi tersebut semakin nyata dan kompetensi lulusan sesuai dengan kebutuhan organisasi atau lembaga mitra tersebut.
Ridwan mengungkapkan, saat ini belum ada perguruan tinggi yang mendaftar. Ia berharap di masa depan akan ada banyak perguruan tinggi yang tertarik. Sehingga lulusan perguruan tinggi Indonesia yang kompetensinya sesuai kebutuhan industri dan banyak terserap di dunia kerja.
Ditanya apakah pengajuan prodi baru tanpa nomenklatur itu harus dilakukan setelah proses kajian ilmiah, Ridwan membenarkan hal itu. Karena perguruan tinggi tetap harus mengisi sejumlah borang-borang seperti halnya pembukaan prodi baru pada umumnya. Termasuk persyaratan jumlah dosen dan syarat akademis lainnya.***