
JAKARTA (Suara Karya): Merebaknya kasus paparan radioaktif dan radioaktif ilegal di Perumahan Batan Indah, Serpong Tangerang Selatan memunculkan banyak pertanyaan terkait kemampuan Indonesia dalam membangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) yang aman. Apalagi hingga kini belum ada tempat yang aman untuk pembuangan limbah radioaktif.
Pertanyaan itu mengemuka dalam acara Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Kebocoran Radiasi Nuklir di Serpong, Masihkah Pemerintah akan Membangun PLTN di Indonesia?” yang digelar Marem (Masyarakat Rekso Bumi) di Jakarta, Kamis (27/2/20).
Pembicara dalam FGD itu adalah Ketua Marem, Lilo Sunaryo, Anggota Dewan Energi Nasional periode 2014-2019, Dwi Hary Soeryadi dan pengamat energi, Fabby Tumiwa.
Seperti dikatakan Lilo Sunaryo, pria asal Jepara yang juga Ketua Marem. Kasus Batan telah menimbulkan kekhawatiran di masyarakat Jepara dan sekitarnya. Pasalnya, nama Jepara sejak era pemerintah Soeharto hingga saat ini belum dicoret sebagai daerah pilihan uji tapak untuk pembangunan PLTN.
“Bagaimana kami tidak gelisah. Kasus Batan menunjukkan adanya ketidakmampuan lembaga itu dalam mengelola limbah radioaktif,” ujarnya.
Untuk nuklir skala kecil saja, lanjut Lilo, Batan tidak bisa menangani masalah limbah radioaktif, bagaimana jika reaktor nuklir yang sesungguhnya jadi dibangun di Jepara. Karena hingga kini pemerintah belum mencoret nama Jepara sebagai daerah uji tapak PLTN.
Hal senada dikemukakan Anggota Dewan Energi Nasional periode 2014-2019, Dwi Hary Soeryadi. Ia mengaku bersyukur rencana Presiden Soeharto membangun PLTN di daerah Jepara tidak terwujud. Pasalnya, Jepara ternyata berada di daerah lempengan bumi yang rawan terjadi gempa.
“Informasi Jepara berada di daerah lempeng bumi baru kita ketahui pada tahun 2000-an. Jika pemerintah Soeharto kala itu jadi bangun PLTN di Jepara, saat terjadi gempa, maka habislah kita sekarang. Kondisinya bakal seperti kasus kecelakaan nuklir di Fukushima Daiichi pada 2011,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat energi Fabby Tumiwa menilai pemerintah harus melakukan audit atau investigasi independen terhadap Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). Hal itu untuk memastikan dan menghindari kejadian serupa tidak terulang lagi.
“Hasil audit untuk melihat apa yang salah sebagai bahan rekomendasi dan mengubah safety culture,” katanya.
Fabby yang juga Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform itu berpandangan, kasus paparan radioaktif di Serpong diibaratkan puncak gunung es. “Kita tidak tahu bagaimana limbah radioaktif diurus, diawasi, masuk dan keluarnya serta proses perpindahannya. Bagaimana safety culture-nya,” ucapnya.
Fabby menilai, Bapeten selama ini tertutup seputar limbah radioaktif yang dihasilkan, material radioaktif yang diimpor, limbah radioaktif yang dikembalikan ke negara asal. Padahal radioaktif adalah bahan berbahaya yang bisa mencemari lingkungan dan kesehatan manusia.
“Ada kelalaian di dalam pengawasan dan pengelolaan limbah radioaktif. Dua lembaga ini, yaitu Batan dan Bapeten harus diinvestigasi,” kata Fabby menandaskan. (Tri Wahyuni)