JAKARTA (Suara Karya): Kebutuhan akan vaksin dan obat halal menjadi tantangan bagi negara anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Pasalnya, beban penyakit menular yang sebenarnya bisa diatasi lewat vaksin, ternyata masih tinggi lantaran ketidaktersediaan vaksin halal.
“Lewat pertemuan ini, kami ingin masalah vaksin halal bisa segera dicari solusinya. Termasuk akses bagi negara-negara OKI yang sedang berkonflik dan miskin untuk mendapatkan vaksin dan obat dengan harga murah,” kata Menteri Kesehatan (Menkes), Nila FA Moeloek saat membuka Pertemuan Kepala Otoritas Regulatori Obat Negara Anggota OKI (NMRAs) di Jakarta, Rabu (21/11/2018).
Pertemuan NMRAs yang berlangsung selama 21-22 November 2018 itu dihadiri 32 negara anggota OKI, institusi OKI, mitra pembangunan internasional (WHO, UNICEF dan IDB) serta asosiasi industri farmasi dan vaksin dari negara anggota OKI.
Turut memberi kata sambutan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K Lukito, Assistant Secretary General OIC, Muhammad Naeem Khan dan CEO of Saudi Arabia FDA, Prof Hisham S Al Jadhey PharmD MS PhD.
Menkes menyatakan keprihatinan atas masih tingginya angka kematian dan kesakitan di banyak negara anggota OKI. Bahkan pada 2015, penyakit menular menjadi 30 persen penyebab kematian. Angka itu melebihi angka kematian di negara berkembang non OKI yakni 24 persen dan 22 persen di dunia.
“Sejumlah negara OKI hingga kini masih berjuang melawan epidemi penyakit menular yang sebenarnya dapat dicegah lewat vaksin. Pentingnya perluasan akses bagi negara tak mampu untuk mendapat vaksin. Termasuk obat-obatan murah,” ujarnya.
Disebutkan, nilai ekspor produk farmasi di negara OKI selama 2010-2016 naik hingga 17 persen. Namun, nilai impornya pun meningkat dari 5,7 miliar dollar Amerika pada 2010 menjadi 8,1 miliar dollar Amerika pada 2015. Kenaikannya mencapai 42 persen.
“Kebutuhan akan sistem regulatori obat yg efektif dan kuat menjadi tantangan negara-negara anggota OKI,” ucap Menkes menegaskan.
Menurut Nila, penguatan kerja sama antar otoritas regulatori obat dan kerja sama dengan mitra serta pemangku kepentingan di negara OKI merupakan hal yg sangat esensial guna mengatasi ketergantungan impor pada negara non OKI.
Kepala BPOM dalam sambutannya mengatakan, kondisi ekonomi, politik, dan keamanan yang tak menentu di sebagian negara anggota OKI, seperti di kawasan Timur Tengah dan Afrika kian mengkhawatirkan. Terbatasnya akses dan keterjangkauan obat dan vaksin, terutama di negara konflik dan berpendapatan rendah, menyebabkan angka kematian yang tinggi.
“Terbentuknya OKI juga dimaksudkan untuk memperjuangkan keadilan. Situasi ini membutuhkan penanganan segera, dan bantuan dari kita semua, agar tidak terjadi krisis berkepanjangan. Terlebih kaum perempuan dan anak harus dapat jaminan kesehatan yang memadai,” ujarnya.
Data WHO menyebutkan sebanyak 30 persen populasi dunia kekurangan akses terhadap obat yang bersifat life-saving, termasuk vaksin. Kondisi itu juga terjadi di beberapa negara anggota OKI, yang antara lain disebabkan oleh keterbatasan kapasitas produksi dari industri farmasi yang ada di negara tersebut.
“Hanya tujuh negara anggota OKI, yaitu Indonesia, Iran, Senegal, Uzbekistan, Bangladesh, Tunisia dan Mesir, yang memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Sebagian besar negara anggota OKI masih mengandalkan impor dari luar negara anggota OKI untuk memenuhi kebutuhan obat dan vaksin di negaranya,” ucap Penny.
Dalam hal produksi vaksin, Indonesia bersama Senegal cukup terdepan di antara negara anggota OKI lain. Kedua negara ini telah menerima status Pre-Qualification WHO (PQ-WHO) yaitu pemenuhan standar mutu, keamanan, dan penggunaan secara internasional untuk produksi vaksin.
“Indonesia patut berbangga karena menjadi negara Islam yang industri vaksinnya memperoleh PQ-WHO dengan jumlah produk terbanyak sejak 1997. Indonesia melalui PT Bio Farma bahkan ditunjuk sebagai Center of Excellence (CoE) bidang vaksin bagi negara anggota OKI,” katanya.
Ditambahkan, Indonesia juga menjadi anggota The Pharmaceutical Inspection Co-operation Scheme (PICs) bersama 49 negara lainnya. Hanya 4 negara anggota OKI yang masuk dalam PICs yaitu Indonesia, Malaysia, Turki, dan Iran.
“Masuknya Indonesia dalam PICs membuktikan kemampuan BPOM sebagai regulator. Indonesia melalui Bio Farma telah mengekspor produk vaksin ke 141 negara dunia, termasuk ekspor ke 49 negara anggota OKI,” katanya.
Menurut Penny, peran kepemimpinan Indonesia dalam pertemuan ini sangat besar dan menguntungkan untuk saling menguatkan sistem pengawasan dan membuka pasar. Dalam forum ini seluruh delegasi akan membuat rencana kerja untuk mengetahui kekuatan setiap negara dalam memproduksi obat dan vaksin.
Pertemuan NMRAs akan membahas berbagai permasalahan seputar obat dan vaksin mencakup status regulatori di negara anggota OKI, peran otoritas regulatori dalam menjamin mutu obat, harmonisasi standar dan upaya menuju kemandirian obat, kehalalan obat dan vaksin, dan pengendalian obat palsu. (Tri Wahyuni)